JAKARTA – Pertamina melalui Subholding Upstream Pertamina, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) jadi salah satu Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di tanah air yang berada di garda terdepan dalam injeksi CO2 ke reservoir. Salah satu proyek injeksi CO2 yang kini sedang berjalan ada di Lapangan Jatibarang.

Awang Lazuardi, Direktur Pengembangan dan Produksi PHE, menyatakan saat ini PHE melalui Regional 2 Pertamina EP sedang melakukan huff and puff di Jatibarang yang merupakan salah satu bentuk dari skema Enhanced Oil Recovery (EOR) guna meningkatkan produksi minyak.

“Jatibarang kita lakukan huff and puff, itu injeksi CO2, kita rendem (soaking CO2) sekian period lalu produksikan lagi kita lihat dampaknya ke reservoir. itu di Jatibarang berhasil turunkan water cut. kita evaluasi pilotnya, abis pilot kita masuk EPC,” kata Awang ditemui disela Asia Pasific Oil & Gas Conference and Exhibition 2023, Jakarta (10/10).

Menurut Awang masih terlalu dini jika diputuskan proyek injeksi CO2 di Jatibarang bisa diterapkan dalam skala full atau full scale karena masih harus melalui beberapa tahapan. Tapi dari evaluasi awal memang ada potensi minyak yang terperangkap di reservoir bisa diproduksikan.

“Jadi CO2 diinjeksi fungsinya membuat minyak lebih mulai mengalir jadi lebih encer sehingga lancar mengalirnya. Kita evaluasi dulu dari sisi keekonomiannya,” ujar Awang.

Selain di Jatibarang, PHE juga bakal uji coba penerapan injeksi CO2 di Lapangan Sukowati. Dalam praktiknya nanti pengurangan emisi dari kegiatan operasi produksi PHE adalah penyaluran CO2 yang  merupakan emisi dari kegiatan produksi dari lapangan lain ke proyek EOR Pertamina. Untuk Jatibarang misalnya akan mendapat pasokan CO2 dari lapangan Subang sementara Sukowati nanti akan ada CO2 dari Jambaran Tiung Biru (JTB).

“Rencananya long term CO2 nanti dari Subang (untuk Jatibarang), terdekat Subang. Untuk Sukowati dari JTB,” ungkap Awang.

Injeksi CO2 sendiri merupakan salah satu cara yang paling jitu jika mau bertahan di industri hulu migas masa depan. Menurut Awang, tantangan terbesar industri hulu migas adalah harus seimbangkan program jangka panjang yaitu menuju menekan emisi hingga Net Zero Emission (NZE) dan di sisi lain harus mengakomodir target jangka pendek yaitu memastikan produksi migas terus berjalan.

“Menuju Net Zero Emissions itu long term, di waktu yang sama kita harus maintain produksi untuk memenuhi kebutuhan energi, memastikan ketahanan energi itu ada di shor term,” ujar Awang.

Sementara itu, Raam Krisna, Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), menyatakan kolaborasi kuat dibutuhkan untuk menjawab tantangan terbesar industri hulu migas sekarang. Dia berharap para pelaku usaha bersama dengan pemerintah dan stakeholder lain memiliki visi yang sama. “Dengan kolaborasi kita bisa maintain produksi migas sekaligus menekan emisi,” ungkap Raam. (RI)