NUSA DUA – Negara-negara anggota ASEAN telah menyadari pentingnya pengembangan energi berkelanjutan, keamanan energi, dan penanganan perubahan iklim. Guna mencapai tujuan ini, beberapa strategi sedang dilakukan, termasuk mengembangkan konsep yang jelas untuk pendanaan transisi energi yang berkelanjutan, menetapkan peta jalan energi terbarukan jangka panjang, serta menerapkan teknologi ramah lingkungan.

Hasil proyeksi the International Renewable Energy Agency (IRENA) mengungkapkan dibutuhkan suntikan dana sebesar US$29,4 triliun hingga tahun 2050 untuk melaksanakan transisi energi ASEAN dengan skenario 1,5°C dengan skema 100% energi terbarukan.

“Menurut Laporan IRENA Renewable Energy Outlook for ASEAN, untuk melaksanakan transisi energi, ASEAN membutuhkan pendanaan sebesar US$29,4 triliun hingga tahun 2050 dalam skenario 1,5°C dengan 100% energi terbarukan,” ujar Arifin Tasrif, Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat membuka acara Sustainable Energy Financing And Mobilization of Energy Investments To Ensure Energy Security And Achieve NDCs In ASEAN di Bali, Rabu (23/8) kemarin.

Kebutuhan dana sebesar itu, menurut Arifin, ditujukan untuk pengembangan pembangkit energi terbarukan, transmisi (nasional dan internasional), distribusi, dan penyimpanan, pasokan biofuel, elektrifikasi (mobil EV dan pengisi daya EV), serta dalam mempertimbangkan perspektif biaya yang lebih luas yang mencakup biaya bahan bakar, pengoperasian dan pemeliharaan.

“Untuk membiayai langkah-langkah ini, pembiayaan energi berkelanjutan sangat dibutuhkan. Hal ini dapat dicapai melalui berbagai cara, antara lain, pembiayaan campuran yang bentuknya bisa bermacam-macam, seperti hibah, pinjaman lunak dengan persyaratan yang menguntungkan, dan investasi bersama. Kedua, Kemitraan Pemerintah-Swasta (KPS) dan Pendanaan Internasional dengan mengakses dana iklim internasional, seperti Green Climate Fund, dapat menyediakan sumber daya tambahan untuk inisiatif energi bersih,” jelas Arifin.

Arifin mengungkapkan, selain pendanaan lingkungan yang kondusif bagi investor juga hal yang penting untuk memobilisasi investasi energi ramah lingkungan dan hal ini dapat diciptakan melalui pemberian insentif, kerangka kebijakan yang jelas dan mendukung, termasuk rencana dan peraturan energi jangka panjang dapat membangun kepercayaan investor. Terakhir, Prosedur Investasi yang Transparan.

Yudo Dwinanda Priaadi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukkan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE), menjelaskan untuk melaksanakan transisi diperlukan pendanaan dan investasi dan hal ini menurutnya menjadi tantangan besar yang harus diatasi.

“Mendapatkan pendanaan dari negara-negara maju seperti Just Energy Transition Partnerships (JETP), Asia Zero Emission Communities (AZEC), dan Energy Transition Mechanism (ETM) sangatlah penting. Selain itu, pembiayaan ramah lingkungan yang inovatif seperti obligasi ramah lingkungan, perusahaan jasa energi (ESCO), dan skema pembiayaan lainnya didorong untuk dijajaki dan diterapkan,” kata Yudo. (RI)