JAKARTA – PT Pertamina (Persero) melalui Subholding Upstream, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) saat ini menjadi kontributor terbesar produksi minyak nasional. Maka,  masalah yang terjadi di blok- blok migas yang dikelola Pertamina, sudah dipastikan akan langsung berdampak pada produksi migas secara nasional.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) menyoroti tiga blok raksasa yang saat ini dikelola Pertamina namun kerap bermasalah sehingga berdampak pada produksi nasional. Tiga blok tersebut adalah Blok Offshore Southeast Sumatera (OSES), Offshore North West Jawa (ONWJ) serta Rokan. Dalam masa jayanya ketiga blok itu mampu memproduksi minyak dalam jumlah besar. OSES misalnya rata-rata produksi bisa diatas 40 ribu barel per hari (BPH). Lalu ONWJ bisa mencapai 30 ribuan BPH bahkan lebih. Belum lagi dengam Rokan yang dulunya bisa lebih dari 200 ribuan BPH menjelang berakhir kontrak dengan Chevron dna kini dibawah kendali Pertamina rata-rata sebesar 160-170 ribuan BPH.

Nanang Abdul Manaf, Wakil Kepala SKK Migas, menjelaskan permasalahan yang dialami tiga blok tersebut bukan karena pengaruh pengelolaan yang saat ini dioperatori Pertamina, namun lebih disebabkan oleh faktor umur blok serta berbagai fasilitas produksi yang sudah tua. Untuk diketahui ketiga blok migas tersebut sudah memproduksi migas khususnya minyak selama lebih dari 50 tahun.

Pemerintah sendiri mengusulkan asumsi lifting minyak tahun depan atau 2024 sebesar 625 ribu bph. Jumlah itu dinilai tidak lebih. Baik dari tahun-tahun sebelumnya, padahal pemerintah masih mematok target produksi tinggi yakni 1 juta bph pada tahun 2030.

“Kenapa skenario kami sebesar 625 ribu BPH itu pun sudah naik di bandingkan outlook tahun ini sebesar 621 ribu BPH dan pencapaian tahun tahun lalu sebanyak 612 ribu BPH. Lifting  saat ini sebesar 625 ribu BPH. Kami  bolak balik memastikan reliability dari fasilitas produksi kami.  Blok OSES sekitar  1970-an dulu pertimbanganya  sudah diperbaiki. Fasilitas  itu harus dilakukan perbaikan komprehensif dan butuh waktu dan biaya. Ke depan harapannya masalah kebocoran pipa tidak ada lagi,” kata Nanang, dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, di Jakarta, Senin (5/6).

Sementara untuk Blok ONWJ serta Rokan, kata Nanang, permasalahan yang timbul tidak berbeda. Kedua blok itu tidak jarang mengalami masalah kelistrikan dan kebocoran pipa. “ONWJ juga sama masalah trip dan kelistrikan termasuk juga Rokan. Rokan itu potensinya melakukan sumur itu semuanya di atas estimasi problemnya masalah trip dan kebocoran,” jelas Nanang.

Menurut dia, dengan kondisi infrastruktur yang yang sering bermasalah maka operator harus menjaga kondisinya agar tetap bisa digunakan dan produksi bisa dijaga. Konsekuensinya maka produksi tidak bisa dipaksa untuk terlalu tinggi. Sekalipun dalam masa perbaikan itu juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

“Ini yang barangkali kami  diberi kelonggaran dulu waktu karena ini mau tidak mau ada perbaikan signifikan terhadap reliability produksi sehingga kalo kemampuan produksi 620 ribu BPH lifting-nya harusnya 620 ribu BPH. Tapo sekarangjadi 605 ribu BPH. Kalau kami  pompa itu udah bocor, akhirnya pelan-pelan kami alirkan supaya dari produksi bisa dikonversi jadi lifting,” jelas Nanang.

Meskipun kerap bermasalah, Pertamina  sukses menekan decline rate atau penurunan produksi alami yang cukup tinggi.

“Kalau kami  lihat declined rate 10-15%, untuk menahannya kami  lakukan upaya pengeboran pengembangan lalu kegiatan kerja ulang workover lalu ada kegiatan well service dan reaktivasi upaya itu hanya bisa menahan declined,” tegas Nanang. (RI)