JAKARTA— Anggota Komisi VII DPR Mulyanto mengimbau kepada pemerintah untuk tetap berdaulat dengan mempertahankan pembangkitan energi listrik dengan sumber daya yang melimpah di Indonesia. Pengembangan pembangkit listrik harus tetap mengacu pada situasi di Tanah Air.

“Pemerintah Indonesia jangan latah dengan dunia internasional yang ramai-ramai menghentikan pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU),” ujar Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR.

Menurut dia, kendati Indonesia mengakui investment plan dari Just Energy Transition Partnership/JETP yang di dalamnya mengatur kebijakan investasi untuk penghentian PLTU, pemerintah tetap harus mengutamakan sumber daya dalam negeri. Mulyanto mengatakan, kesepakatan internasional tersebut justru menyulitkan Indonesia, terutama masyarakatnya dalam memperoleh energi listrik. “Pemerintah harus tetap menjamin ketersediaan listrik secara aman dan terjangkau,” katanya.

Pemerintah juga diminta untuk tidak gegabah meninggalkan energi yang dimiliki lalu mengimpor sumber daya dari luar. “Kita harus optimalkan kondisi sumber daya yang dimiliki untuk pembangkitan listrik di Tanah Air.”

Pada kesepakatan apapun dengan pihak luar, tegas Mulyanto, pemerintah harus berhati-hati menjaga kepentingan dalam negeri, terutama yang terkait dengan daya beli masyarakat secara luas. “Jangan sampai kita harus impor, karena impor justru menyulitkan daya beli masyarakat. Itu namanya sudah jatuh tertimpa tangga,” kata politisi PKS dari Daerah Pemilihan Banten III.

Pernyataan bernada imbauan itu diungkap Mulyanto seusai mengunjungi PLTU Suralaya yang shutdown unit sebesar 1,6 GW sejak 29 Agustus 2023. Saat itu Mulyanto juga memastikan bahwa emisi operasional PLTU Suralaya sudah terkelola dengan baik.

PLTU Suralaya sempat dituding sebagai kambing hitam penyebab polusi udara di Jakarta. Namun yang terjadi saat PLTU tersebut shutdown, kualitas udara tidak kunjung membaik pada 30-31 Agustus. Pada tanggal itu, Indeks IQAir masih pada posisi 163 atau tidak sehat.

Tercatat, kualitas udara membaik justru saat penerapan 75% WFH aparatur sipil negara yang bekerja di Jakarta. “Hal itu membuktikan bahwa PLTU Suralaya bukan penyebab memburuknya kualitas udara di Jakarta,” kata Mulyanto. (RA)