JAKARTA – Kinerja PT Pertamina (Persero) kembali menjadi sorotan, khususnya di sektor hulu. Ini lantaran kurang positifnya realisasi produksi migas, baik itu anak perusahaan maupun cucu usahanya sepanjang kuartal I 2021. Padahal Pertamina kini menjadi badan usaha pengelola blok migas terbesar di tanah air dan juga sebagai kontributor utama produksi migas nasional.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) memberikan catatan khusus terkait kinerja badan usaha dibawah naungan subholding upstream atau Pertamina Hulu Energi (PHE). Salah satu catatan utama yang harus dibenahi adalah terkait proses pengambilan keputusan investasi atau Final Investment Decision (FID).

Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, mengungkapkan proses FID Pertamina dalam tiga bulan pertama belum optimal yang menyebabkan adanya kemunduran berbagai program kerja.

“Banyak FID belum didapatkan approval, masih harus urus-urus FID khususnya di Pertamina Grup maka ini agak mundur (program kerja). Oleh karena itu di waktu yang akan datang harus bisa lebih baik,” kata Dwi disela konferensi pers virtual, Senin (26/4).

Realisasi produksi minyak hingga akhir Maret lalu tercatat sebesar 679,5 ribu barel per hari (bph), sehingga masih terdapat selisih (gap) 25,5 ribu bph dengan target 705 ribu bph. Adanya selisih ini lantaran belum terealisasinya program kerja dari beberapa kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), di mana sebagian ada pada KKKS di bawah Pertamina Group.

Menurut Dwi, selisih produksi dari KKKS dibawah naungan Pertamina Group ini mencapai sekitar 10 ribu bph. SKK Migas telah memanggil Pertamina dan juga KKKS lainnya yang juga mengalami keterlambatan dalam pengambilalihan keputusan FID.

“Kami kerja keras untuk bisa percepat (rencana kerja), khususnya pada kuartal II dan III. Sudah ada komitmen KKKS, termasuk Pertamina, akan percepat [pelaksanaan] dari tadinya di kuartal IV menjadi kuartal III, supaya tidak menumpuk di akhir tahun dan dampaknya ke produksi lebih cepat dirasakan,” ungkap Dwi.

Dwi mengakui salah satu keterlambatan pengambil alihan keputusan FID lantaran terjadi reorganisasi dalam tubuh Pertamina yang kini menjadi holding dan subholding. Terlebih proses perubahan tersebut tahun ini juga masih belum rampung seluruhnya.

“Saat terjadi perubahan tentu saja banyak hal-hal belum hidup sehingga kami tahu akhir 2020 Pertamina melakukan perubahan organisasi bentuk subholding khususnya di hulu. Tentu saja itu menjadi salah satu penyebab sebuah proses (memakan waktu), itu memang biasa terjadi,” kata dia.

SKK Migas kata Dwi telah mengkomunikasikan kondisi ini kepada Direktur Utama Pertamina Hulu Energi (PHE) serta manajemen agar proses FID bisa diakselerasi.

“Kami dari SKK Migas temui manajemen holding meminta ada support mengenai FID sehingga dalam rapat-rapat terakhir dengan pak Budiman (Dirut PHE) sebagai subholding sudah disampaikan bahwa mulai bulan ini sudah tidak boleh lagi ada isu menunggu FID,” kata Dwi.

Berdasarkan data SKK Migas, terdapat tiga KKKS di bawah Pertamina Group yang produksi minyaknya masih di bawah target APBN. Rincinya, per Maret kemarin, produksi minyak Pertamina EP tercatat sebesar 73.503 bph atau 86,5% dari target 85 ribu bph, PT Pertamina Hulu Energi OSES 24.030 ribu atau 89% dari target 27 ribu bph, serta PT Pertamina Hulu Kalimantan Timur 8.779 atau 83,6% dari target 10.500 bph.

Taufik Aditiyawarman, Direktur Pengembangan dan Produksi PHE saat dikonfirmasi mengungkapkan koordinasi dengan SKK migas telah dilakukan untuk mempercepat proses FID. Dia berharap isu FID sudah tidak lagi menjadi kendala untuk mempercepat program kerja yang berdampak pada produksi secara langsung.

“Rapat terakhir dengan SKK Migas sudah kami jelaskan dan confirmed tidak ada lagi concern perihal keterlambatan decision dalam FID dengan implementasi Subholding Uptream (SHU) ini,” tegas Taufik.(RI)