JAKARTA – Berdiri sejak 10 Desember 1957 dengan nama Perusahaan Tambang Minyak Negara (PERMINA), PT Pertamina (Persero) menjadi perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di sektor minyak dan gas (Migas) dan terintegrasi dari hulu hingga hilir.

Sejak resmi menyandang nama PT Pertamina (Persero) pada  2003, struktur organisasinya terus berubah. Perubahan struktur organisasi yang signifikan terjadi pada pertengahan tahun 2020.

Lewat salinan Keputusan Menteri (Kepmen) BUMN nomor SK-198/MBU/06/2020, pemerintah memangkas susunan direksi dari 11 menjadi 6 orang.Sedangkan direktorat operasional masuk ke dalam beberapa subholding yang telah dibentuk, yaitu Subholding Upstream, Subholding Refinery & Petrochemical, Subholding Commercial & Trading, Subholding Power & New and Renewable Energi, serta Shipping Company. Penetapan subholding tersebut tertuang dalam Surat Keputusan (SK) yang ditandatangani Dirut Pertamina Nicke Widyawati pada 13 Juni 2020 dengan No.Kpts-18/C00000/2020-SO.

“Pembentukan Sub Holding berpotensi mengarah kepada rencana pelepasan asset melalui IPO (Initial Public Offering) yang mengakibatkan tidak dapat dikontrolnya harga produk karena penentuan harga akan diserahkan kepada mekanisme pasar,” ungkap Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), dalam webinar Sabtu (14/8).

Dia mengatakan terdapat sejumlah kekhawatiran yang akan ditimbulkan jika Holding-Subholding direalisasikan. Berbagai upaya pun telah dilakukan FSPPB sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku.

Upaya penolakan FSPPB terhadap unbundling dan privatisasi Pertamina telah dilakukan secara litigasi maupun nonlitigasi. “Apakah IPO dapat menjamin security of supply BBM hingga ke daerah 3T aman, BBM satu harga di semua daerah, dan rakyat dapat menikmati BBM dengan jenis kualitas yang sama?” kata Capt Marcellus Hakeng.(RA)