INDONESIA akan segera memasuki babak baru di sektor ketenagalistrikan, khususnya di pembangkit listrik. Tidak lama lagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sumatera Selatan (Sumsel) 8 bakal beroperasi secara penuh Commercial Operation Date (COD). Ini memang terasa spesial lantaran PLTU Sumsel 8 merupakan PLTU mulut tambang pertama di Indonesia sekaligus menjadi PLTU mulut tambang yang terbesar di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).

Kehadiran PLTU Sumsel 8 patut disambut dengan suka cita lantaran akan “menerangi” pulau Sumatera. PLTU Sumsel 8 diyakini bakal membuat pasokan listrik di wilayah Sumatera akan semakin andal tanpa harus khawatir adanya perubahan biaya, karena biaya pokok produksinya sangat rendah. Ini memberikan kepastian juga untuk masyarakat dalam menggerakkan roda perekonomian.

PLTU Sumsel 8 (2×660 MW) merupakan bagian dari Program Pembangunan Pembangkit Listrik 35.000 MW. Bukit Asam meyakini bisnis pembangkit listrik berbasis batu bara masih cukup menjanjikan. Hal ini diyakini dengan masih signifikannya batu bara sebagai komponen bauran energi nasional dalam beberapa dekade kedepan. Pembangkit ini berlokasi di Desa Tanjung Lalang, Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Pembangkit yang juga dikenal dengan nama PLTU Tanjung Lalang ini dibangun oleh PT Huadian Bukit Asam Power (HBAP) yang merupakan kerja sama strategis antara PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan China Huadian Hongkong Company Ltd (CHDHK).

Bukit Asam menurunkan harga jual listrik per kWh dari US$ 5 sen per kWh menjadi 4,78 sen per kWh. Listrik dari PLTU Sumsel 8 Mulut Tambang bakal dialirkan ke jaringan transmisi Sumatera. Ini membuat listrik dari PLTU Sumsel 8 akan bisa dialiri ke seluruh wilayah Sumatera.

PTBA sejatinya adalah perusahaan tambang atau produsen batu bara. Tapi manajemen melihat ada potensi besar dari bisnis batu bara, salah satunya di bisnis pembangkit listrik. Akhirnya pada tahun 1996 ide untuk melakukan ekspansi bisnis di pembangkit listrik mulai direalisasikan.

Bukit Asam memang wajar melirik bisnis pembangkit listrik, pasalnya dari sisi sumber daya bahan baku sudah jelas ada kepastian. Dengan dibangunnya fasilitas pembangkit listrik dekat wilayah tambang (Muluat Tambang) maka komponen biaya produksi berupa biaya angkut akan langsung terpangkas signifikan sehingga ujungnya akan menghasilkan listrik murah sekaligus andal.

Tahun 2006, Bukit Asam mulai melakukan penjajakan dengan PT PLN (Persero) sebagai pihak yang nantinya akan mendistribusikan listrik dari PLTU Sumsel 8. Pada 2015 perseroan melalui anak usaha PT Huadian Bukit Asam Power telah menandatangani loan agreement senilai US$ 1,2 miliar bersama The Export Import Bank of China.

Tahun 2017 disepakati adanya perubahan Power Purchase Agreement (PPA) mengenai perubahan transmisi high voltage direct current (HVDC). Setelah itu pada awal tahun 2018 dimulailah proses pembangunan

Pada 7 Mei 2023, penyaluran tegangan listrik (Energize) untuk umpan tenaga listrik dari PLN (Backfeeding Power) dari jalur SUTET 275 kV Lumut Balai-Muara Enim ke PLTU Tanjung Lalang berhasil dilakukan, dilanjutkan uji komisioning seluruh mesin/peralatan sebelum masuk ke tahap operasional.

Niko Chandra, Sekretaris Perusahaan PTBA, mengunkapkan PLTU yang nantinya membutuhkan sekitar 5,4 juta ton batu bara per tahun dari wilayah tambang Tanjung Enim. “Pembangkit listrik ini diharapkan dapat mulai beroperasi komersial pada September 2023,” kata Niko seperti dikutip dari website resmi PTBA, Senin (18/9).

PLTU Sumsel 8 merupakan salah satu PLTU paling canggih yang dibuat. Indikatornya adalah pengendalian emisi yang disematkan di PLTU. Hal itu sangat penting, apalagi isu polusi di sekitar kawasan Jabodetabek belakangan ini sempat membawa kekhawatiran terhadap pengoperasian PLTU. Namun PLTU Sumsel 8 ini bukan PLTU biasa. Teknologi mutakhir telah disematkan di PLTU sehingga mampu menekan emisi yang dihasilkan.

Teknologi yang digunakan adalah super critical sehingga menjadikan pembangkit ini lebih efisien dan ramah lingkungan. Selain itu, PLTU Sumsel 8 juga menerapkan teknologi flue gas desulfurization (FGD) yang digunakan untuk meminimalkan sulfur dioksida dari emisi gas buang pembangkit listrik berbahan bakar fosil batu bara.

FGD sendiri bukan teknologi kaleng-kaleng untuk urusan menekan emisi. FGD digunakan untuk meminimalkan sulfur dioksida dari emisi gas buang pembangkit listrik berbahan bakar fosil batubara. FGD merupakan proses pencampuran emisi gas hasil pembakaran batubara dengan zat pengikat berupa kapur basah (CaCO3) agar kandungan sulfur dioksida yang dilepaskan ke atmosfer menjadi rendah.

Nicholas P. Cheremisinoff dalam buku Clean Electricity Through Advanced Coal Technologies mengungkapkan bahwa bahan desulfurisasi gas buang (FGD) adalah produk dari proses yang biasanya digunakan untuk mengurangi emisi SO 2 dari sistem gas buang boiler berbahan bakar batu bara. Sifat fisik bahan-bahan ini bervariasi dari lumpur basah hingga bahan kering berbentuk bubuk tergantung pada prosesnya. Lumpur basah dari proses penggosokan basah reagen berbasis kapur didominasi oleh kalsium sulfit . Yang basah produk dari proses scrubbing basah reagen berbasis batu kapur didominasi kalsium sulfat . Bahan kering dari scrubber kering yang ditangkap dalam baghouse terdiri dari campuran sulfit dan sulfat. Bahan bubuk ini disebut dengan abu FGD kering, bahan FGD kering, atau abu pengering semprotan kapur. FGD gipsum terdiri dari partikel-partikel kecil dan halus.

Material FGD kalsium sulfit dapat digunakan sebagai material dasar tanggul dan jalan. Bahan FGD kalsium sulfat , setelah dikeringkan, dapat digunakan dalam pembuatan papan dinding dan sebagai pengganti gipsum untuk produksi semen. Pasar tunggal terbesar untuk bahan FGD adalah pembuatan papan dinding.

Sementara KJ Ladwig dan GM Blythe, dalam buku Coal Combustion Products (CCP’s), menjelaskan padatan yang dihasilkan oleh sistem FGD mewakili aliran produk pembakaran batu bara (CCP) terbesar kedua berdasarkan volume, hanya dilampaui oleh abu terbang (fly ash).

 

Jisman P. Hutajulu, Dirjen Ketenagalistrikan, mengungkapkan Untuk evakuasi listrik PLTU Mulut Tambang berkapasitas 2×660 Megawatt (MW) tersebut, Jisman menjelaskan bahwa sementara akan menggunakan transmisi 275kV dari PLTU ke sistem Lahat dan Gumawang. Namun ke depan persoalan transmisi tersebut harus segera dituntaskan, mengingat perbedaan demand dan supply kelistrikan di Sumatera.

“Ke depannya memang ini perlu segera kita selesaikan terkait transmisi, karena memang pusat listriknya ada di Sumatera bagian selatan, sementara demand listriknya itu berada di Sumatera bagian utara, sehingga mau tidak mau harus ada transmisi,” ujar Jisman.

Ali Ahmudi Achyak, Direktur Eksekutif Center for Energy and Food Security Studies (CEFSS), menjelaskan  saat ini di Indonesia, PLTU masih menjadi “tulang punggung” penyedia tenaga listrik. Data dari Kementerian ESDM menyebutkan bahwa lebih dari 62℅ pembangkit listrik di Indonesia berbahan bakar batu bara. “Kita butuh listrik yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan menggerakkan ekonomi,” kata Ali kepada Dunia Energi, Selasa (18/9).

PLTU mulut tambang menurut Ali merupakan salah satu cara cerdas untuk menghadirkan berbagai keunggulan penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik karena Harga listrik menjadi lebih murah karena efisiensi biaya transportasi batu bara dari tambang ke PLTU. Kemudian Lokasi biasanya jauh dari kota dan pemukiman sehingga mengurangi polusi dan gangguan kesehatan di perkotaan. “Mengurangi potensi hilang (losses) selama di perjalanan dan menekan biaya operasional,” ujar Ali.

Penggunaan teknologi super critical pada PLTU Sumsel 8 menurut Ali adalah Upaya maksimal yang terbukti secara ilmiah mampu menekan emisi secara signifikan. “Pembangkit dengan teknologi supercritical adalah pembangkit yang didesain dan dioperasikan dengan tingkat keadaan uap (steam) diatas titik kritis (suhu 374°C dan 221 bar). Dengan pembakaran yang lebih sempurna, maka potensi limbah gas penyebab emisi bisa lebih rendah, apalagi disertai teknologi tambahan untuk mereduksi emisi gas buang,” jelas Ali.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa operasional PLTU menghasilkan emisi. Tapi bukan berarti kita dilarang memanfaatkan sumber daya alam batu bara. Kekayaan yang sudah ditakdirkan untuk bisa kita pergunakan dengan bijak. Justru kita harus berupaya agar emisi yang dihasilkan bisa terus ditekan dengan berbagai inovasi dan teknologi.

Sama halnya seperti yang terjadi di PLTU Sumsel 8. Keberadannya bukanlah petaka bagi lingkungan tapi justru jadi kesempatan bagi masyarakat Sumatera untuk mendapatkan jaminan pasokan listrik yang andal, terjangkau dan ujungnya bakal membantu perekonomian masyarakat. (RI)