Wilayah kerja migas Blok Mahakam.

Wilayah kerja migas Blok Mahakam.

JAKARTA – Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto PhD menilai, kisruh yang mengemuka menjelang berakhirnya kontrak pengelolaan wilayah kerja minyak dan gas bumi (migas) Blok Mahakam pada 2017, akibat tidak idealnya kondisi pengelolaan migas di Tanah Air. Untuk itu ia mengusulkan skenario guna mengatasi polemik tersebut.

Pri Agung mengakui, polemik yang mengemuka seputar kelanjutan pengelolaan Blok Mahakam saat ini, sudah masuk ke ranah yang kurang sehat.  Isu yang lebih mengemuka hanya seputar dikotomi nasional versus asing, dan label nasionalis versus tidak nasionalis. Padahal yang harus dipikirkan, bagaimana wilayah kerja migas itu ke depan masih dapat menjadi penyokong penerimaan negara.

Pri Agung tidak memungkiri, adanya desakan yang cukup kuat, agar Blok Mahakam yang saat ini dikelola Total E&P Indonesie asal Perancis, diserahkan untuk dikelola Pertamina pasca 2017. Pihak lain menilai, kontrak Total di Blok Mahakam selayaknya diperpanjang, guna memberikan kepastian dan jaminan atas investasi jangka panjang yang telah ditanamkan Total di blok itu.

Satu yang harus disadari, kata Pri Agung, peralihan pengelolaan pada suatu wilayah kerja migas, harus melalui suatu tahap transisi. “Masa transisi dari pengelola lama ke pengelola yang baru ini penting, guna menghindari anjloknya produksi, yang merupakan ancaman bagi penerimaan negara,” ujarnya dalam diskusi “Membedah Potensi Blok Mahakam” di Jakarta, Rabu, 31 Juli 2013.  

Berangkat dari itu, ia pun mengusulkan suatu skenario yang bisa dianggap sebagai “jalan tengah” atas polemik pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017. Inti usulan ini, ungkapnya, tetap harus ada Kontrak Baru di Blok Mahakam pada 2017, yang berisi sejumlah poin penting sebagai berikut;

  1. Total E&P tetap sebagai operator di Blok Mahakam sampai 2022.
  2. Pertamina ditunjuk pemerintah sebagai operator di Blok Mahakam mulai 2022. Dengan begitu, ada rentang masa transisi lima tahun antara 2017 – 2022.
  3. Porsi bagian keuntungan (split) untuk pemerintah diperbesar secara signifikan. Misalnya untuk minyak pemerintah dan Total berbagi 95:5, lalu untuk gas 85:15.  
  4. Insentif fiskal lain untuk Total E&P dikurangi. Misalnya dengan menerapkan Domestic Market Obligation (DMO) selama masa produksi, depresiasi dipercepat ditiadakan, investment credit ditiadakan, cost recovery dibatasi, dan sebagainya.
  5. Pertamina tidak harus membeli/membayar untuk mendapatkan porsi Participating Interest tertentu di Blok Mahakam selama masa transisi lima tahun 2017 – 2022.

“Saya pikir kalau usulan ini dilaksanakan oleh pemerintah, maka akan tercipta situasi yang win-win solution (sama-sama diuntungkan, red) dalam pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017 nanti,” tukasnya.

Situasi yang win-win itu diantaranya, risiko penurunan, ketidakstabilan, maupun ketidakberlanjutan produksi (cadangan) di Blok Mahakam lebih kecil. Selain itu, proses transfer teknologi, manajerial, dan expertise (keahlian, red) dalam pengelolaan Blok Mahakam bakal berlangsung lebih smooth.

Terkait adanya potensi “opportunity losspenerimaan negara jika, kata Pri Agung, dapat dikompensasikan melalui porsi split untuk pemerintah yang diperbesar, dan pengurangan insentif fiskal lainnya terhadap Total E&P.

“Bagi Pertamina juga untung, karena tidak perlu membeli untuk mendapatkan Participating Interest. Sementara Total E&P dan partner lain yang ada di Blok Mahakam saat ini, tetap dapat melanjutkan investasinya dalam mengoperasikan dan mengelola blok itu sesuai komitmennya,” kata Pri Agung lagi.

Segera Putuskan

Lebih lanjut Pri Agung mendesak, agar pemerintah  dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera memutuskan nasib pengelolaan Blok Mahakam, dalam tahun ini. Karena jika menyeberang ke 2014, mendekati Pemilu, maka situasi politis akan semakin mendominasi polemik seputar pengelolaan Blok Mahakam.

“Segera putuskan dan beri kejelasan status kontrak Blok Mahakam, yakni dengan usulan skenario Kontrak Baru tersebut. Segera setelah ada keputusan, Kementerian ESDM, SKK Migas, Pertamina, Total E&P dan pihak lain yang mungkin terlibat, duduk bersama untuk memformulasikan isi dan ketentuan Kontrak Baru,” tandasnya.

Setelah hal itu diputuskan, sambung Pri Agung, maka rencana dan komitmen investasi Total E&P hingga 2017 di Blok Mahakam sebesar USD 7,3 miliar, harus benar-benar direalisasikan.

“Ke depan, pemerintah perlu menerbitkan aturan tentang masa transisi (lima tahun sebelum kontrak berakhir) untuk diterapkan pada Kontraktor Kerjasama (KKS) migas yang baru maupun KKS lama yang bersedia mengakomodasinya,” tegas Pri Agung.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)