JAKARTA – Proses pemilihan operator Blok Rokan dinilai harus menjadi perhatian karena sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.36/PUU-X/2012 tentang lima aspek penguasaan negara, pengelolaan wilayah kerja minyak dan gas harus berada di tangan pemerintah melalui BUMN. Dengan demikian, jika kontrak Rokan diperpanjang, maka terjadi pembangkangan konstitusi.

“Dalam hal ini Kepala SKK Migas, Dirjen Migas, Menteri ESDM dan Presiden RI, telah melakukan pemufakatan untuk melanggar UUD 1945, dan untuk itu layak diproses sesuai Pasal 7B UUD 1945,” kata Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) di Jakarta, Senin (30/7).

Blok Rokan yang menjadi kontributor utama produksi minyak nasional saat ini dikelola PT Chevron Pacific Indonesia. Kontrak Chevron akan berakhir pada 2021.

Menurut Marwan, pada Pasal 4 UU Energi No.30/2007 dinyatakan bahwa guna mendukung pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, maka sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala besar, dan sumber energi nuklir dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Karena itu, setiap upaya untuk menjauhkan BUMN dari pengelolaan SDA migas dapat dianggap merongrong peningkatan ketahanan energi nasional dan menghambat upaya pembangunan berkelanjutan.

Kontrak Chevron di Blok Rokan akan berakhir pada 2021.

Kecilnya peluang PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN dan perwakilan negara justru datang dari pemerintah sendiri dengan adanya Permen ESDM No.23/2018 yang memprioritaskan pengelolaan wilayah kerja migas yang akan berakhir kontrak kerja samanya kepada kontraktor eksisting.

Marwan menilai Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah melapangkan jalan kepada  Chevron  untuk terus bercokol di Blok Rokan, tanpa peduli amanat konstitusi dan kepentingan strategis nasional.

“Padahal sesuai urutan peraturan perundang-undangan nasional (UU No.12/2011) status Permen berada jauh di bawah konstitusi. Bagaimana mungkin Kementerian ESDM tidak paham dan malah nekat melanggar UU ini?,” ujar dia.

Chevron telah puluhan tahun berada di Blok Rokan, serta telah memperoleh pula perpanjangan kontrak satu kali (20 tahun) mengelola WK tersebut. Sesuai Pasal 14 UU Migas No.22/2001, perpanjangan kontrak hanya dapat diberikan selama 20 tahun.

Menurut Marwan, apabila suatu WK migas dikelola Pertamina, maka seluruh produksi minyak masuk ke kilang dalam negeri, termasuk porsi bagi hasil (split) bagian kontraktor (contractor entitlement). Hal ini tentu akan mengurangi impor minyak dan juga mengurangi defisit neraca perdagangan nasional. Namun sebaliknya, jika WK migas tersebut dikelola oleh asing, terutama pada saat harga minyak turun, maka dengan sistem yang ada, kontraktor asing akan membawa minyak bagian mereka ke luar negeri.

“Hal ini jelas akan meningkatkan impor minyak mentah dan defisit  neraca perdagangan,” kata dia.

Dengan berbagai alasan yang diuraikan di atas, maka pantas akan timbul berbagai pertanyaan terhadap langkah yang ditempuh Kementerian ESDM. Menurut Marwan jika berbagai spekulasi terus muncul, maka ujung-ujungnya akan muncul sendiri dugaan kemungkinan terjadinya KKN dan perburuan rente oleh oknum-oknum penguasa dan asing yang terkait.

Proses yang tidak mematuhi prinsip-prinsip good governance yang melibatkan oknum-oknum birokrasi sangat potensial menimbulkan KKN. Salah satu cara untuk mencegah adalah dengan memberi peluang kepada BUMN mengundang partisipasi kontraktor lain ikut mengelola suatu WK migas secara business to business melalui proses tender. Proses seperti inilah yang mestinya didukung, disupervisi dan dikawal oleh Kementerian ESDM. Bukan malah melapangkan dominasi asing di tengah tingkat ketahanan energi yang terus terpuruk. Berbagai stakeholder pun diminta untuk dilibatkan dalam mengawal proses ini, termasuk KPK.

“Pemerintah dan DPR serta KPK harus memastikan bahwa dugaan tindakan KKN  tidak akan terjadi dalam perpanjangan kontrak Blok Rokan,” tegas Marwan.(RI)