JAKARTA – Hingga 10 tahun ke depan energi air dinilai masih menjadi andalan dan motor untuk pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia yang memiliki banyak aliran sungai. Oleh karenanya, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berpotensi menjadi tulang punggung transisi dari energi fosil ke energi terbarukan.

Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM, mengatakan PLTA menjadi tulang punggung pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) untuk saat ini hingga 10 tahun ke depan. “Ini berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 – 2030 yang baru disahkan,” katanya, Senin(25/10)

Berdasarkan RUPTL 2021-2030, kapasitas pembangkit EBT akan ditambah hingga 20.923 MW. Kapasitas ini terbagi pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA/MH) mencapai 10.391 MW, PLTB 597 MW, PLT Bio 590 MW, PLTP 3.355 MW, PLTS 4.680 MW, PLT EBT Base 1.010 MW, dan battery energy storage system (BESS) 300 MW.

Menurut Chrisnawan, potensi energi air di Indonesia mencapai 94 GW, sedangkan pemanfaatannya baru mencapai 6,2 GW. Karena itu, pemerintah mendorong pembangunan PLTA di beberapa lokasi, seperti PLTA Poso yang akan berfungsi sebagai peaker dengan kapasitas 515 MW, PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan yang berkapasitas 510 MW, dan PLTA upper Cisokan pumped storage sebesar 1000 MW.

Sebagai upaya transisi dari fosil ke energi terbarukan tersebut, pemerintah menerapkan beberapa kebijakan hijau untuk mengurangi energi fosil. Beberapa hal yang dicanangkan pemerintah antara lain penerapan pajak dan perdagangan karbon, kemudian co firing PLTU dengan EBT. Selain itu, pemerintah mendorong kendaraan listrik di sektor transportasi, dan memanfaatkan carbon capture and storage.

Proses transisi menuju EBT akan dilakukan secara bertahap dan hati-hati untuk menghindari terjadinya krisis energi seperti di Tiongkok, Inggris, dan beberapa negara di dunia.

Hayat Mansur, Ketua Yayasan Perspektif Baru, mengatakan kebijakan transisi energi fosil ke energi terbarukan perlu dukungan semua pihak karena pemerintah tidak akan mampu melakukan ini sendiri. “Kita harus mampu melakukan transisi energi karena peningkatan porsi energi terbarukan sangat penting untuk pengurangan emisi karbon, selain ketahanan dan kemandirian energi,” katanya.

Dampak penggunaan EBT dalam mengurangi emisi sangat besar. Menurut perhitungan, satu megawatt dari pembangkit EBT mampu mengurangi karbon sebesar 483 ton CO2

Contohnya, PLTA Batang Toru berkapasitas 510 MW di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara diatur untuk berkontribusi pada pengurangan emisi karbon sekitar 1,6 juta ton per tahun atau setara dengan kemampuan 12 juta pohon menyerap karbon.

Jadi pemanfaatan pembangkit listrik dari energi terbarukan seperti PLTA mampu mengurangi emisi karbon sangat signifikan. Ini sangat penting untuk upaya mitigasi perubahan iklim. Berdasarkan Persetujuan Paris pada 2015, semua negara harus menurunkan emisi karbonnya termasuk di sektor energi untuk menjaga menjaga ambang batas suhu bumi di bawah dua derajat Celcius dan berupaya menekan hingga 1.5 derajat Celcius di atas suhu bumi pada masa pra-industri.(RA)