JAKARTA – Presiden RI Joko Widodo menyampaikan peluncuran bursa perdagangan karbon di Indonesia merupakan kontribusi nyata untuk melawan krisis perubahan iklim yang hasilnya akan diinvestasikan kembali untuk menjaga lingkungan, melalui pengurangan emisi karbon. Karena Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dalam nature-based solutions dan menjadi satu-satunya negara yang sekitar 60% pemenuhan pengurangan emisi karbonnya berasal dari sektor alam.

Surya Darma, Ketua Indonesia Center for Renewable Energy Studies (ICRES), menyampaikan bahwa sejak diratifikasinya Paris Agreement yang telah diadopsi pada COP 21 UNFCCC pada bulan Desember 2015, tentu menjadi harapan baru baru dalam penanganan perubahan iklim, melalui perdagangan karbon. Para negara Pihak yang berkomitmen untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius sebagaimana diatur dalam Artikel 6 Paris Agreement, dapat bekerjasama satu sama lain dalam memenuhi penurunan emisi mereka, melalui penurnan emisi antar negara.

“Hal inilah yang membuat kesempatan terjadinya perdagangan karbon. Paris Agreement tidak menyebutkan secara eksplisit tentang mekanisme pasar atau pasar karbon dalam perjanjian, akan tetapi memungkinkan negara Pihak untuk mengejar co-operative approaches dan secara sukarela menggunakan international transferred mitigation outcomes (ITMOs) untuk membantu memenuhi target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) masing-masing,” ujar Surya Darma kepada Dunia Energi.

Ia menyebutkan, menurut informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), pada tahun 2015 tercatat nilai perdagangan karbon global sekitar US$ 50 miliar, dimana 70% dari total tersebut dihasilkan dari Emission Trading System dan 30% dihasilkan dari Carbon Tax.

Surya menilai Indonesia memiliki cukup pengalaman dalam perdagangan karbon, baik secara global maupun bilateral melalui proyek CDM dan JCM sebagai proyek bilateral antara Indonesia dan Jepang baik Pemerintah, swasta Jepang dan swasta Indonesia yang telah diimplementasikan di Indonesia sebanyak 106 proyek dengan menurunkan sekitar 329,483 ton CO2e.

Surya menjelaskan, hasil penurunan emisi GRK pada proyek bilateral JCM dapat dihitung sebagai capaian penurunan emisi GRK yang terbagi antara pemerintah Indonesia, pihak swasta Jepang yang memiliki teknologi dan pihak swasta Indonesia yang mengadopsi teknologi.

Lebih lanjut Surya Darma mengatakan, untuk mendorong pasar karbon domestik, Pemerintah Indonesia telah membuat instrument carbon pricing yang menggabungkan sistem cap and trade dan carbon tax melalui aturan perdagangan karbon tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional.

Surya Darma menekanjan perlunya persiapan kebijakan, road map perdagangan karbon di pasar terorganisir, capacity building untuk mempersiapkan SDM yang kompeten dan profesional, infrastruktur dalam rangka mendukung terselenggaranya pasar karbon selain diperlukan antisipasi dan mitigasi mengenai dampak dari perdagangan karbon yang melibatkan banyak sektor

“Kita harus siap agar tidak hanya dimanfaatkan untuk kepentingan berbagai negara yang telah siap. Apalagi, nilai ekonomi karbon di Indonesia ditetapkan sangat rendah dibandingkan dengan negara lain termasuk negara tetangga di ASEAN sekalipun. Ini menjadi tantangan,” kata Surya Darma.(RA)