JAKARTA – PT Pertamina (Persero) melalui Subholding Upstream Pertamina, Pertamina Hulu Energi (PHE) dikabarkan sudah mulai intensif melakukan pembahasan pengelolaan blok Masela bersama dengan calon mitranya nanti setelah alih kelola participating interest (PI) dari Shell rampung.

Berdasarkan informasi yang diterima Dunia Energi, perwakilan Petronas bertemu langsung dengan manajemen PHE selama beberapa hari pada pekan lalu membahas potensi kerja sama di Masela.

Kabar akan bergabungnya Petronas bersama Pertamina di pengelolaan Masela memang sudah lama tersiar bahkan sejak tahun lalu. Tapi baik Pertamina maupun pemerintah belum mau berbicara banyak. Pemerintah sendiri menegaskan keterlibatan Petronas merupakan inisiatif business to business.

Hadi Ismoyo, Praktisi migas yang juga mantan Sekretaris Jendral Ikatan Alumni Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), mengungkapkan potensi keterlibatan Petronas dalam pengelolaan blok Masela cukup positif, karena melakukan sharing risiko dalam pengelolaan blok migas sekaliber Masela merupakan langkah tepat.

“Sharing risk dengan pihak pihak lain sangat dianjurkan,” kata Hadi kepada Dunia Energi, Senin (15/5).

Jika memang Petronas bergabung, maka itu jadi sebuah langkah positif. Menurut Hadi saat ini Petronas jadi salah satu perusahaan yang memiliki kemampuan untuk melakukan pengembangan dan pengelolaan LNG di laut dengan skala kecil. Bahkan Floating LNG (FLNG) di wilayah perairan Serawak itu jadi FLNG pertama di dunia.

Menurut Hadi, kemampuan itu penting apabila nanti ujung-ujungnya gas Masela akan dikembangkan secara terapung (offshore) seperti pada Plan of Development (POD) yang pertama. Seperti diketahui saat ini POD yang diminta pemerintah adalah pengolahan LNG dilakukan di darat (onshore).

“Petronas punya FLNG#1, yang saat ini beroperasi di Offshore Serawak. Floating LNG kecil dengan kapasiats sekitar 1,2 MTPA. Artinya secara operations penting sekali , Pengalaman Petronas dalam menghandle FLNG , untuk mengantisipasi jika pada akhirnya Masela Development, kembali lagi ke opsi Floating LNG seperti original POD,” jelas Hadi.

Pengelolaan bertahap blok Masela dengan skala kecil terlebih dulu memang jadi salah satu opsi yang dipertimbangkan pemerintah. Ini untuk memastikan proyek Masela tetap berjalan. Ini dikaji agar Indonesia tidak kehilangan momentum pemanfaatan gas yang makin gencar dalam beberapa tahun ke depan.

Apalagi menurut Hadi dengan skema floating LNG berkapasitas kecil akan bermanfaat saat nanti produksi gas Masela mendekati akhir.

“FLNG juga berguna jika late production kapasitas 9,5 MTAP mendekati akhir, masih ada tile gas dengan low capasity yang tidak bisa dihandle kapasitae besar cq Onshore LNG misalnya, maka FLNG sangat berguna memproses tile gas dengan production rate yang rendah,” jelas Hadi.

Investasi di Blok Masela butuh dana besar. Pada POD awal, nilai investasinya diestimasikan mencapai US$19,8 miliar dengan kapasitas fasilitas LNG mencapai 9,5 Metrik Ton Per Annum (MTPA) atau setara 1.600 juta kaki kubik per hari (MMscfd) serta gas pipa mencapai 150 MMscfd. Selain itu, Blok Masela diproyeksi menghasilkan kondensat 35 ribu barel per hari. Terbaru, investasinya diperkirakan bakal membengkak antara US$1,3-US$1,4 miliar untuk membiayai penerapan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).

Blok Masela merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang hak partisipasinya dipegang oleh Inpex dan Shell. Namun Shell kemudian menyatakan keinginan untuk melepas hak partisipasinya. di Lapangan Abadi, sehingga harus dicari penggantinya. Sebelum menarik diri dari Blok Masela, Shell menguasai 35% saham participating interest (PI). Sisanya dikuasai Inpex sebesar 65%. Shell sendiri sebenarnya menjadi pemain kunci dalam pengembangan blok Masela karena memiliki teknologi membangun fasilitas pengolahan LNG berskala besar. (RI)