JAKARTA – Era baru industri tambang mineral dan batu bara dimulai seiring disahkannya revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) melalui rapat paripurna DPR, Selasa (12/5).

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mewakili pemerintah, mengatakan disahkannya revisi Undang-Undang Minerba yang merupakan perubahan dari UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dapat menjawab permasalahan pengelolaan pertambangan saat ini dan juga tantangan pengelolaan pertambangan di masa yang akan datang. Kemudian mengubah paradigma kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara yang selama ini masih dianggap hanya berfokus pada penjualan material mentah tanpa terlebih dahulu dilakukan peningkatan nilai tambah.

“Memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan sektor pertambangan, dan yang terpenting adalah dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” kata Arifin.

Tapi jangan kira UU baru ini menyelesaikan carut marut pengelolaan tambang di tanah air. Justru pekerjaan rumah berikutnya muncul lantaran UU baru dinilai masih banyak kelemahan dan cenderung membuka peluang menambah masalah baru.

Salah satu pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan pemerintah adalah terkait kelanjutan proyek pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter. Pemerintah begitu menggebu-gebu kalau dalam aturan yang baru ini ada kepastian pembangunan smelter yang bisa meningkatkan nilai tambah barang tambang.

UU Minerba terbaru menekankan pembangunan smelter rampung paling lambat pada 2023 atau tiga tahun sejak diundangkan. Ini berarti setelah 2023 hanya produk mineral yang sudah dimurnikan atau telah melalui smelter yang bisa diekspor.

Namun aturan batas waktu ini justru menjadi peluang timbulnya masalah baru. Ini disebabkan sejumlah pengusaha smelter telah mengajukan penundaan pembangunan smelter hingga 18 bulan akibat pandemi Covid-19. Dengan penundaan itu maka berimbas pada target pembangunan smelter. Misalnya saja PT Freeport Indonesia ang tengah membangun smelter tembaga. Jika semula ditargetkan rampung di 2023, dengan adanya pandemi Covid-19, Freeport mengajukan permohonan penundaan pembangunan smelter selama 12 bulan yang berarti target penyelesaian smelter menjadi 2024. Ini juga telah disampaikan kepada pemerintah. Ini menjadi poin yang bisa menjadi bumerang bagi pemerintah.

Sementara kewajiban pembangunan smelter dalam UU Minerba terbaru memiliki ketentuan tambahan yakni ada batasan minimum dengan mempertimbangkan peningkatan nilai keekonomian serta kebutuhan pasar. Peraturan turunan UU Minerba harus segera diterbitkan guna memperjelas nasib investasi smelter tersebut.

Dalam revisi UU tersebut menegaskan peraturan pelaksanaan harus ditetapkan dalam waktu satu tahun sejak Undang-Undang ini berlaku. Artiannya paling lambat pada pertengahan Mei 2021 sejumlah Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri harus segera terbit.

Daam beleid tersebut memuat amanat yang menyatakan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Khusus Pengolahan dan Pemurnian yang diterbitkan sebelum berlakunya undang-undang ini disesuaikan menjadi perizinan usaha berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian dalam jangka waktu satu tahun sejak undang-undang ini berlaku.

UU terbaru sebenarnya telah memberikan batasan jelas antara kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Perindustrian yang selama ini abu-abu lantaran selama ini ada dua lisensi dalam pembangunan smelter yakni IUP yang diterbitkan Kementerian ESDM dan IUI dari Kementerian Perindustrian.

Ido Hutabarat,  Ketua Indonesian Mining Association (IMA) mendukung ketentuan pembangunan smelter sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Minerba, dimana salah satunya memuat ketentuan sesuai kebutuhan pasar.

Dia menyebut tingkat keekonomian smelter berbeda-beda antara satu mineral dengan yang lain. Dia mencontohkan konsentrat tembaga merupakan produk yang memiliki nilai tambah 95%. Bila konsentrat tersebut dimurnikan smelter menjadi produk 100% artiannya hanya 5% peningkatan nilai tambahnya. Sementara nilai investasi membangun smelternya jauh lebih besar daripada nilai tambah yang didapat sehingga secara keekonomian tidak ekonomis.

“Produknya 100% ekspor, untuk apa kita subsidi market ekpor. Tapi kalau industri hilir dalam negeri sudah membutuhkan bahan baku dari smelter maka smelter wajib dibangun untuk mendukung industri dalam negeri sehingga bahan baku domestik dapat tersedia,” kata Ido.(RI)