JAKARTA – Rencana PT Pertamina (Persero) untuk mendivestasikan aset-asetnya terutama di sektor hulu diperkirakan tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Padahal recana tersebut menjadi salah satu strategi pengembangan bisnis hulu migas Pertamina saat ini.

John H Simamora, Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis Pertamina Hulu Energi yang menjadi subholding upstream PT Pertamina (Persero), mengungkapkan holding Pertamina sudah membagi beberapa klaster blok migas yang selama ini dikelola untuk kemudian dipilih blok mana saja yang akan didivestasi. Namun manajemen menemui kendala terkait legalitas dalam rangka mendivestasikan blok migasnya.

“Kami ada kluster dan beberapa kluster  perlu didivestasi. Jadi bukan dikembalikan ke pemerintah. Kami coba itu dulu, masih diskusi dengan pemerintah untuk divestasi blok itu, jadi masih panjang,” ungkap John, Kamis (19/11).

Menurut John, besaran divestasi tergantung dari perkembangan harga minyak dunia.  Apabila proyeksi harga minyak baik maka persetase divestasi tidak akan besar. Namun saat ini langkah lanjut dalam persiapan divestasi belum bisa dilakukan karena masih membahas legalitas.

Pertamina memang diperbolehkan divestasi,  tapi maksimal hanya bisa 41% hak partisipasi di suatu blok. Sementara dalam implementasi di lapangan sebenarnya dalam suatu blok Pertamina tidak perlu memiliki kepemilikan dengan porsi yang besar. Jika mau melepas lebih dari 41% ini yang sampai sekarang belum diatur regulasinya. Kepastian regulasi ini penting agar tidak ada masalah hukum di masa datang.

“Karena kadang kami enggak butuh 41% atau jadi operator. Jadi harus diskusi dengan pemerintah. Tapi pemerintah ada perspektif lain, bisa iya bisa tidak. Ini hanya sedikit lapangan,” ungkap John.

Strategi divestasi diambil  Pertamina karena perusahaan migas plat merah ini akan fokus untuk menggarap aset-aset yang lebih prospektif. Serta menjalankan berbagai program peningkatan produksi migas yang membutuhkan biaya besar, seperti Enhanced Oil Recovery (EOR).

“Kami fokus untuk eksplorasi dan optimization dari lapangan dengan water injection, dan study EOR,” kata John.

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina,  sebelumnya pernah menyebut ada empat klaster yang dibagi Pertamina berdasarksn kondisi reserve to production atau berdasarksn kondisi cadangan dan yang bisa diproduksikan hingga beberapa waktu ke depan atau umur produksi suatu blok migas.

Menurut Nicke, klasterisasi akan menjadi dasar dalam penentuan klaster mana yang akan diprioritaskan untuk dikerjasamakan. Dari seluruh blok atau wilayah kerja yang saat ini dikelola Pertamina sebagian besar justru belum produktif.

“Kami sudah klaster dari WK yang dimiliki yang produktif hanya 20%, 80% belum optimal. Lebih baik mana, kami investasi atau Participating Interest (PI) dilepas?” kata Nicke

Klaster 1 adalah yang umur produksinya diatas 10 tahun. Kemudian Klaster 2 adalah umur produksi antara 5 hingga 10 tahun ke depan. Klaster 3 bisa dikerjasamakan dari sisi skala menengah. Serta klaster 4 yang ternyata tidak memenuhi sebagian syarat untuk terus dikelola oleh Pertamina.

Nicke mengatakan blok-blok yang termasuk dalam klaster 4 nantinya akan menjadi prioritas untuk dicarikan mitra pengelola. “Klaster 4, yang enggak cocok dengan Pertamina,” kata dia.

Menurut Nicke, sebagai perusahaan besar maka Pertamina lebih pas untuk mengelola blok yang punya potensi besar serta mampu memproduksi migas dalam jumlah besar juga. Pertamina kedepan sudah tidak akan lagi jor-joran secara penuh blok-blok yang dinilai tidak menunjukkan performa yang kurang optimal.

“Yang lebih kecil perusahaannya lebih pas (kelola), ini yang mau kita lepas, klaster 4 paling dulu yang akan kami lepas terlebih dulu,” kata Nicke.(RI)