JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) meminta para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) menggenjot kegiatan eksplorasi seiring fasilitas fiskal yang diberikan pemerintah.

Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas,  menegaskan para kontraktor telah memiliki komitmen pasti yang seharusnya bisa langsung ditindaklanjuti, terutama bagi para kontraktor yang mengelola blok eksplorasi.

“Kebijakan pemerintah mengenai perpajakan mendorong itu, sehingga kami harapkan eksplorasi akan lebih bergairah,” kata Dwi di Kementerian ESDM Jakarta, Senin (2/9).

Kementerian Keuangan baru saja menerbitkan PMK No 122/PMK.03/2019 yang diundangkan pada 27 Agustus 2019. Aturan tersebut merupakan aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 berisi ketentuan perpajakan dan daftar insentif bagi perusahaan migas yang menggunakan skema kontrak kerja sama (production sharing contract/PSC) biaya investasi yang dapat dikembalikan (cost recovery).

KKKS berhak memperoleh fasilitas perpajakan berupa pajak pertambahan nilai (PPN) atau PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) tidak dipungut. Serta pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB) atas kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Beberapa insentif lain berupa pengecualian dari pemotongan pajak penghasilan (PPh) atas biaya operasi fasilitas bersama, dan insentif lainnya.

Pada tahap eksplorasi, fasilitas yang diberikan meliputi PPN/PPnBM yang terutang tidak dipungut atas perolehan barang dan/atau jasa kena pajak yang digunakan atau dimanfaatkan dalam rangka operasi perminyakan, dan pengurangan PBB migas terutang sebesar 100% yang tercantum dalam surat pemberitahuan pajak terutang.

Tidak hanya eksplorasi pada tahap eksploitasi, kontraktor dapat memperoleh fasilitas perpajakan yang serupa. Hanya saja untuk PBB migas mendapat pengurangan PBB atas tubuh bumi paling tinggi sebesar 100%.

Insentif ini diberikan bagi KKKS yang tidak dapat mencapai tingkat pengembalian modal (internal rate of return/IRR) tertentu serta memiliki wilayah kerja dengan kriteria tertentu, seperti berlokasi di laut dalam atau merupakan blok migas nonkonvensional.

Dwi pun mengancam jika para kontraktor tidak melakukan eksplorasi maka bukan tidak mungkin blok yang sudah diberikan pemerintah akan ditarik lagi.

“SKK Migas akan lebih proaktif untuk baik diskusi, menegur, dan sampai mengajukan usulan-usulan (kegiatan eksplorasi). Kalau tidak, kami harus tarik blok-blok migas eksplorasi kalau tidak ada kegiatan,” kata Dwi.

Beleid tersebut diharapkan dapat meningkatkan iklim investasi pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.

Jika dilihat dari realisasi investasi sektor migas dalam beberapa tahun terakhir memang cukup rendah. Ini tentu berdampak pada hasil berupa produksi migas yang tidak kunjung memenuhi target.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi investasi untuk eksplorasi migas ada 2013, sempat mencapai US$ 3,05 miliar. Sayangnya investasi yang disiapkan untuk eksplorasi terus alami penurunan menjadi US$ 2,6 miliar pada 2014, US$ 970 juta pada 2015, US$ 916 juta pada 2016, dan menyentuh titik terendah US$ 567,55 pada 2017. Di 2018, realisasi investasi untuk eksplorasi migas kembali menggeliat menjadi US$ 786,18 juta.(RI)