Bachtiar Abdul Fatah saat menjalani sidang pengadilan kasus bioremediasi.

Bachtiar Abdul Fatah saat menjalani sidang pengadilan kasus bioremediasi.

JAKARTA – Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Syarif Hiariej menilai, diseretnya kembali Bachtiar Abdul Fatah sebagai tersangka dan terdakwa kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) merupakan bukti telanjang kesewenang-wenangan jaksa.

Penilaian ini diungkapkan Edward, menanggapi putusan sela untuk perkara Bachtiar, yang rencananya akan dibacakan oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, pada Kamis, 4 Juli 2013. Dalam sidang Rabu lalu, jaksa penuntut umum telah menyampaikan tanggapan atas eksepsi yang disampaikan oleh terdakwa Bachtiar Abdul Fatah dan tim penasehat hukumnya.

Yang menarik dalam kasus Bachtiar adalah bahwa berdasarkan Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan no. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel, tanggal 27 Nopember 2012, terdakwa Bachtiar telah dibebaskan dari tahanan Kejaksaan Agung (Kejagung) dan dinyatakan statusnya sebagai tersangka dibatalkan, karena tidak sah dan disertai bukti-bukti yang cukup.

Dengan beralasan bahwa kasus dengan terdakwa kontraktor CPI pada kasus yang sama telah divonis bersalah oleh hakim pengadilan tipikor tingat pertama, Kejagung merasa memiliki dasar untuk memperkarakan kembali Bachtiar, dengan langsung menangkap paksa dan menahan Bachtiar kembali.

Tim penasehat hukum Bachtiar telah melayangkan protesnya dan menilai bahwa Kejagung telah mengabaikan putusan pra peradilan bersifat final dan mengikat. Namun Kejagung mengabaikan berbagai protes itu, dan bersikukuh mengajukan Bachtiar ke depan sidang pengadilan.

Terkait hal ini, Edward pun memberikan beberapa catatan, yang menurutnya merupakan suatu persoalan serius dalam penegakan hukum di Indonesia. Pertama, kata Edward, Bachtiar pada awalnya ditahan oleh Kejaksaan dan atas penahanan tersebut Bachtiar mengajukan praperadilan.

“Putusan praperadilan tidak hanya menyatakan penahanan yang dilakukan terhadap Bachtiar adalah tidak sah, namun juga secara eksplisit dalam amar putusannya menyatakan bahwa penetapan Bachtiar sebagai tersangka adalah tidak sah,” kata Edward.

Kedua, lanjutnya, sebagaimana yang telah diutarakan di atas, bahwa putusan praperadilan bersifat final and binding yang tidak dimungkinkan adanya upaya hukum apapun. “Artinya, selain penahanan tersebut tidak sah, penetapan Bachtiar sebagai tersangka juga tidak sah,” jelas Edward.

Ketiga, ungkapnya, konsekuensi lebih lanjut dari putusan praperadilan tersebut, tidak boleh dilakukan penahanan kepada yang bersangkutan. Demikian pula dalam hal menetapkan Bachtiar sebagai tersangka harus memenuhi persyaratan sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP.

Menurut Edward, jika penahanan dilakukan tanpa dasar, terlebih sudah ditetapkan oleh putusan praperadilan, maka yang terjadi adalah kekuasaan telanjang aparat penegak hukum (jaksa) yang sudah menuju pada kesewenang-wenangan penegak hukum.

“Demikian pula jika penetapan tersangka tanpa melalui persyaratan dan mekanisme yang diatur dalam KUHAP, maka yang terjadi adalah unfair prejudice (persangkaan tidak wajar) yang akan menuju pada peradilan sesat,” ujar Edward.

Jaksa Unjuk Kekuasaan

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kata Edward, upaya hukum berupa praperadilan yang dapat diajukan oleh tersangka atas upaya paksa aparat penegak hukum terhadapnya. Kompetensi praperadilan pada hakikatnya ada lima, masing-masing adalah : 1) sah – tidaknya penangkapan; 2) sah – tidaknya penahanan; 3) sah – tidaknya penghentian penyidikan; 4) sah – tidaknya penghentian penuntutan; dan 5) gugatan ganti kerugian dan rehabilitasi.

Dari kelima kompetensi praperadilan, lanjut Edward, putusan praperadilan terkait sah – tidaknya penangkapan dan sah – tidaknya penahanan, tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun. Artinya, putusan praperadilan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena bersifat final and mengikat (binding).

Maka menyangkut putusan pra peradilan atas Bachtiar, lanjut Edward, putusan tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang tertera dalam amar putusan sebagaimana doktrin dalam ilmu hukum bahwa setiap putusan pengadilan harus dianggap benar dan wajib dihormati (res judicata pro veritate habetur),” pungkasnya.

Penasehat hukum karyawan CPI, Maqdir Ismail menganggap bahwa sudah tidak ada kasus atas nama kliennya karena putusan praperadilan telah memutus perkara Bachtiar dan ini bersifat final dan mengikat. Maqdir pun mencatat bahwa Kejagung sangat ngotot mencari-cari alasan yang tak berdasar hukum dengan mengatakan ke publik bahwa vonis hakim telah memutus bersalah kedua kontraktor sehingga tuduhan mereka terhadap Bachtiar beralasan.

“Ini cara pandang jaksa yang jelas keliru dan cenderung sebagai bukti unjuk kekuasaan jaksa seperti dilaporkan Komnas HAM sebagai pelanggaran hak asasi Bachtiar,” ujar Maqdir di Jakarta, Senin, 1 Juli 2013. Putusan majelis hakim pengadilan tipikor atas dua terdakwa kontraktor CPI belum berkekuatan hukum tetap karena masih ada proses banding di tingkat pengadilan yang lebih tinggi.

“Putusan itu pun tidak bulat karena ada anggota majelis hakim yang mengajukan dissenting opinion yang justru menilai bahwa dakwaan primer dan subsider kepada kedua kontraktor tak terbukti,” ungkap Maqdir lagi.

Ia menambahkan, menjadi sangat keliru dan berbahaya jika Kejagung dalam kasus bioremediasi ini hanya menghormati putusan pengadilan yang mendukung jaksa, dan boleh mengabaikan putusan pengadilan yang tidak mendukung jaksa.

“Siapapun harus patuh terhadap putusan pengadilan apalagi yang sudah berkekuatan hukum tetap dan mengikat seperti putusan pra peradilan atas Bachtiar ini ,” pungkasnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)