JAKARTA – Penurunan harga batu bara secara sentimen akan berpengaruh negatif terhadap perusahaan batu bara, namun tidak akan berdampak  langsung pada kinerja keuangan.

Reza Priyambada, Senior Analyst CSA Research Institute, mengatakan biasanya kontrak harga batu bara untuk jangka waktu tertentu. Tidak seperti trading saham, hari ini turun, lalu harga diturunkan.

“Besok harga naik, besok juga harga mereka naikkan. Tidak seperti itu,” kata Reza kepada Dunia Energi, Kamis (22/11).

Menurut Reza, apabila penurunan harga terjadi secara berkepanjangan maka akan mempengaruhi harga kontrak berikutnya.

“Mau tidak mau, kalau harga kontrak batu bara turun maka mereka harus lebih gencar lagi melakukan penjualan agar volume jualnya tetap bertumbuh,” ungkap dia.

Reza mengatakan proyeksi harga batu bara 2019 tergantung sejumlah faktor, terutama dari permintaan di berbagai industri yang sarat bahan bakar batu bara. Penurunan harga batu bara saat ini, diantaranya selain dari imbas perang dagang juga karena pembatasan impor batu bara oleh China.

Reza mengungkapkan, sisi  baiknya dari pembatasan  impor batu bara China adalah pada dasarnya untuk menahan perkembangan ekonominya agar tidak terlalu cepat bergerak, sehingga pada akhirnya membuat inflasi melonjak yang akan menyulitkan para pemangku kepentingan di negara tersebut.

“Penurunan ini kan diharapkan berlangsung sementara. Paling tidak kita lihat bagaimana perkembangan di kuartal I 2019,” kata Reza.

Pada November 2018 Harga Batubara Acuan (HBA) tercatat US$97,9 per ton. HBA melanjutkan tren penurunan sejak tiga bulan terakhir, yaitu Agustus (US$ 107,83/ton), September (US$ 104,81/ton), dan Oktober (US$ 100,89/ton).

Disan Budi Santoso, Direktur Ekeskutif Center for Indonesia Resources Studies (CIRUSS), mengatakan batu bara masih menjadi andalan energi yang murah.

“Saya melihat masih seperti dinamika, tahun ini. Karena, walaupun ada perang dagang efeknya tidak signifikan,” tandas Disan.(RA)