JAKARTA – Pemerintah memastikan percepatan pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) tidak akan merugikan para pemilik pembangkit atau Independent Power Producer (IPP) maupun PLN yang akan menerima kompensasi dari pensiun dini PLTU.

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan kompensasi yang diberikan nantinya harus dipastikan sudah sesuai dengan perhitungan keekonomian pembangkit yang sebelumnya direncanakan.

“Enggak (rugi). Mungkin Kan dihitung sebetulnya nilai asetnya berapa jadi berapa nilainya itu dan bagaimana cara mempercepatnya. Percepatnya ya, bukan tutup,” kata Arifin ditemui di Kementerian ESDM, Jumat (17/2).

Lebih lanjut Arifin menjelaskan skema yang akan digunakan misalnya masa operasi sebuah PLTU tersisa lima tahun, namun dengan program pensiun dini maka dipercepat menjadi tiga tahun maka kompensasi yang akan diberikan adalah masa operasional yang terpangkas yakni dua tahun.

“Misalnya ini lifenya masih ada 5 tahun, ya, bisa dipercepat lagi nggak jadi tiga tahun, nah dalam dua tahun itu kompensasinya apa,” ujar Arifin.

Dia memastikan perhitungan kompensasi tersebut harus dilakukan secara terbuka dan adil. Pelaku usaha sebagai pemilik pembangkit harus mengikuti perhitungan yang sesuai dengan standar.

“Intinya harus ada keterbukaan ya jangan mentang-mentang ada terus matok. Harus terbuka, berdasarkan base practice yang ada ya,” kata Arifin.

Presiden Joko Widodo bersama Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden beserta para pemimpin negara International Partners Group (IPG) meluncurkan perjanjian internasional yaitu skema pendanaan transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP), pada rangkaian acara KTT G20 di Bali November 2022 lalu. IPG dipimpin Amerika Serikat dan Jepang, beranggotakan Kanada, Denmark, Uni Eropa, Perancis, Jerman, Italia, Norwegia dan Inggris. Perjanjian internasional ini dituangkan dalam joint statement yang bersifat tidak mengikat.

Indonesia merupakan negara kedua yang telah meluncurkan skema pendanaan transisi energi setelah Afrika Selatan. Bahwa model skema pendanaan JETP pertama kali diinisiasi pada pertemuan COP26 di Glasgow tahun 2021 lalu. Dalam perhelatan itu, Afrika Selatan dan International Partners Group (IPG) yang terdiri atas Prancis, Jerman, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa mengumumkan skema pendanaan JETP jangka panjang sebesar US$8,5 miliar.

Adapun implementasi JETP dengan nilai pendanaan sebesar US$20 miliar atau setara dengan 300 triliun rupiah berasal dari investasi publik dan swasta dalam bentuk hibah dan pinjaman bunga rendah, diharapkan dapat mempercepat dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan dengan target yaitu:

– Peaking emisi sektor ketenagalistrikan diproyeksikan terjadi pada tahun 2030, lebih cepat dari proyeksi awal;
– Emisi sektor ketenagalistrikan tidak melebihi 290 juta ton CO2 di tahun 2030, lebih rendah 67 juta ton CO2 dibandingkan nilai baseline BaU sebesar 357 juta ton CO2;
– Net zero emissions sektor ketenagalistrikan pada tahun 2050, lebih cepat 10 tahun dari proyeksi awal;
– Mempercepat pemanfaatan energi terbarukan setidaknya 34% bersumber dari energi terbarukan pada 2030.