JAKARTA – Pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) adalah keharusan. EBT sudah semestinya diberikan porsi yang tetap dalam target bauran energi. Energi baru terbarukan tidak dijadikan pilihan tetapi merupakan “a must” (keharusan) sehingga perlu dukungan kebijakan agar bisa dikembangkan tanpa harus bersaing dengan energi fosil.

Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan mendukung komitmen pemerintah melalui Ditjen EBTKE yang menempatkan EBT sebagai keharusan dalam bauran energi nasional.

“Karena itu, jika Indonesia akan merubah paradigma dimana pemanfaatan EBT adalah keharusan patut di apresiasi dan diberikan dukungan untuk kepentingan anak cucu dimasa yang akan datang,” ujar Surya Darma kepada Dunia Energi, Jumat(30/12).

Rida Mulyana, Direktur Jenderal (Dirjen) Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, mengatakan secara global telah terjadi tren pemanfaatan energi bersih. Dengan demikian, perlu perubahan paradigma bahwa pemanfaatan energi baru terbarukan merupakan suatu keharusan.

“Pemanfaatan EBT dan penerapan konservasi energi telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi,” katanya.

Upaya peningkatan kapasitas pembangkit EBT terus dilakukan pemerintah sepanjang tahun 2016 yang mencapai 15% dari keseluruhan kapasitas terpasang, atau sebesar 8,7 gigawatt (GW) dari total target 58 GW. Dalam 10 tahun kedepan, berdasarkan rencana umum energi nasional, Indonesia diproyeksikan membutuhkan kapasitas terpasang hingga 135 GW dengan 45 GW (33%) dari pembangkit EBT.

Penambahan kapasitas pembangkit listrik  EBT berasal dari beberapa jenis, salah satunya pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Kapasitas terpasang PLTP hingga Desember 2016 adalah sebesar 1.643,5 megawatt (MW), sementara pada tahun 2017 ditargetkan menjadi sebesar 1.858,5 MW.

Di samping PLTP, juga dibangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) dengan kapasitas total 282,55 MW di tahun 2016. Ditargetkan pada tahun 2017 total keduanya meningkat menjadi 291,71 MW.

Kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga bioenergi pada tahun 2015 adalah sebesar 1.767,1 MW dan meningkat sebesar 20,8 MW pada tahun 2016 dengan kapasitas total terpasang sebesar 1.787,9 MW. Kementerian ESDM menargetkan kapasitas total terpasang pembangkit listrik tenaga bioenergi pada tahun 2017 mencapai 2.093 MW atau bertambah 305,1 MW.

Pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) pada tahun 2016 mencapai 3,3 juta kiloliter (KL), meningkat 152% dari tahun 2015 yang sebesar 0,91 juta KL. Sedangkan pada tahun 2017 pemanfaatan BBN ditargetkan sebesar 4,6 juta KL.

Kondisi energi nasional saat ini, 94% berasal dari fosil yang semakin berkurang keberadaannya dan juga terbukti sebagai faktor penting terjadinya perubahan iklim. Kepedulian terhadap kebutuhan energi dan lingkungan mendorong pemerintah melakukan kebijakan konservasi energi dalam bentuk peningkatan efisiensi penggunaan energi baik di sisi penyediaan maupun di sisi kebutuhan, sektor industri, transportasi, rumah tangga dan komersial.

Investasi EBT akan terus menjadi prioritas, salah satunya dengan meningkatkan target investasi di 2017 menjadi US$ 1,56 miliar. Dengan meningkatnya investasi, pemanfaatan EBT juga akan bertambah, yang berdampak baik dalam peningkatan kualitas udara bersih.

Hal ini sejalan dengan komitmen Pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Berdasarkan arahan dari Presiden Joko Widodo pada saat mengikuti Conference of Parties (COP) ke-21 tahun 2015 di Paris dan hasil COP ke-22 di Maroko, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% (BAU) pada 2030 dengan upaya sendiri dan dapat ditingkatkan menjadi 41% dengan bantuan internasional. Hingga akhir 2016, penurunan emisi CO2 telah berhasil dilakukan sebesar 39.3 juta ton. Target 2017, emisi CO2 akan diturunkan sebesar 45,1 juta ton.

“Minat investasi di sektor EBT cukup besar. Semoga akhir bulan (Desember) ini segala peraturan soal feed in tariff bisa selesai,” tandas Rida.(RA)