JAKARTA – Proses pembentukan dan Initial Public Offering (IPO) Holding BUMN Geothermal memasuki babak akhir. PT Pertamina (Pesero), melalui anak perusahaan Pertamina Geothermal Energy (PGE), akan menjadi pimpinan Holding Panas Bumi melalui akuisisi aset dari PT PLN Gas dan Geothermal (G&G), PT Indonesia Power (IP), dan PT Geo Dipa Energi (GDE). Namun, Serikat Pekerja (SP) PLN yang terdiri dari Serikat Pekerja G&G dan IP, menolak PGE menjadi pimpinan Holding dan keberatan terhadap IPO Holding BUMN Geothermal.

“Penolakan SP PLN menjadikan PGE sebagai pimpinan Holding memang sangat beralasan, yang patut didukung, dengan beberapa argumentasi,” kata Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada dan Mantan Anggota Tim Anti Maafia Migas, Senin (26/7).

Pertama, kata Fahmy, PLN harus menyerahkan asset PT PLN G&G dan PT IP dalam jumlah besar, yang akan menjadi milik PGE. Pengalihan asset ini akan menurunkan kinerja keuangan PLN, utamanya meningkatkan debt to asset ratio PLN. Peningkatan debt to asset ratio dapat menurunkan kepercayaan kreditur dalam memberikan pinjaman kepada PLN ke depan.

Kedua, PLN merupakan risk taker, satu-satu pembeli listrik dari Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) yang akan dibangun oleh Holding Geothermal. Ketiga, PLN lebih berpengalaman dalam membagun dan pengoperasikan pembangkit listrik ketimbang Pertamina, yang tidak pernah mengembangkan pembangkit listrik sebelumnya.

“Dengan ketiga argumentasi tersebut, Pertamina sesungguhnya tidak layak menjadi pimpinan Holding Geothermal, PLN lah yang lebih layak ketimbang Pertamina dalam mempimpin Holding Panas Bumi itu,” ujar Fahmy.

Menurut Fahmy, keberatan SP PLN terhadap IPO Holding BUMN Geothermal sesungguhnya kurang beralasan, berdasarkan beberapa argumentasi. Pertama, IPO bukanlah privatisasi terhadap Holding BUMN Geothermal selama mayoritas saham masih dikuasai oleh holding, sehingga kontrol pengelolaan perusahaan masih di tangan holding. Aksi IPO terhadap anak perusahaan Pertamina dan/atau PLN tidak bertentangan dengan perundangan berlaku.

Kedua, IPO merupakan alternatif terbaik dalam memperoleh fresh money sebagai sumber dana pada tahap eksplorasi panas bumi. Pasalnya, perbankan biasanya tidak bersedia membiayai investasi geothermal pada tahap eksplorasi karena resiko terlalu tinggi. Ketiga, dengan IPO, pengelolaan BUMN akan menjadi semakin transparan.

“Pengelolaan BUMN secara tidak transparan berpotensi menjadikan BUMN sebagai sapi perah,” ujarnya.

Fahmy menambahkan bahwa pembentukan Holding BUMN Geothermal merupakan suatu keniscayaan untuk dapat mengoptimalkan penggunaan panas bumi, sebagai Energi Baru Terbarukan (EBT) yang dimiliki Indonesia. Selain itu, penggunaan panas bumi dalam pembangkit listrik akan mempercepat pencapaian target EBT dalam bauran energi.

“Dalam pembentukan Holding BUMN Geothermal itu selayaknya PLN yang menjadi pimpinan holding, bukan Pertamina. Di samping itu, IPO merupakan alternatif terbaik dalam membiayai investasi panas bumi pada tahap eksplorasi, yang tidak melanggar perundangan,” ujar Fahmy.(RA)