JAKARTA –Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) terutama bersubsidi di dalam negeri menunjukkan tren peningkatan, padahal produksi tidak meningkat. Gap inilah yang kemudian harus diimpor sehingga mempengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berupa subsidi yang terus bertambah karena harga minyak mentah dunia sedang tinggi. Penyesuaian harga BBM adalah opsi tepat saat harga minyak dunia di atas US$ 100 per barel, jauh melewati proyeksi ICP dalam APBN yang ditetapkan US$ 63 per barel
“Subsidi akan terus naik. Kalau tidak dikendalikan, bisa lebih parah lagi,” ujar Maxensius Tri Sambodo, Peneliti Ahli Ekonomi Pusat Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam diskusi dengan media secara virtual, Kamis (14/4).
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperlihatkan, realisasi subsidi energi pada 2021 mencapai Rp131,5 triliun, naik 19% dari target 2021 yang ditetapkan Rp 110,5 triliun. Pemerintah menyebut kenaikan subsidi energi disebabkan pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat dalam pemulihan ekonomi.
Lonjakan signifikan berasal dari subsidi BBM dan LPG yakni Rp 83,7 triliun dari target awal Rp 56,9 triliun, sedangkan subsidi listrik turun jadi Rp 47,8 triliun dari target Rp 53,6 triliun. Bila dibandingkan 2020, realisasi subsidi energi pada 2021 ini melonjak 37,4%. Realisasi subsidi energi pada 2020 mencapai Rp 95,7 triliun, terdiri dari subsidi BBM dan LPG Rp 47,7 triliun dan subsidi listrik Rp 48 triliun.
Tahun ini, subsidi energi ditargetkan naik tipis menjadi Rp 134 triliun, terdiri atas subsidi BBM dan LPG Rp 77,5 triliun dan subsidi listrik Rp 56,5 triliun. Jika tidak dikendalikan dengan penyesuaian harga BBM, LPG dan listrik, subsidi energi tahun ini bakal meroket seiring kenaikan harga minyak global.
Max mengungkapkan subsidi energi, termasuk listrik, diestimasi angkanya tinggi sekali. Walaupun benefit-nya bisa meredam inflasi, kemiskinan, pengangguran, namun itu memang harus dipertimbangkan. Kondisi ini tidak hanya dialami Indonesia yang mencoba meredam dampak global berupa tingginya harga minyak. “Hanya kembali kepada setiap satu rupiah yang digunakan itu berimplikasi ke keadilan. Kita lihat enggak efek itu,” ungkap dia.
Pakar ekonomi energi dan sumber daya alam lulusan Australian National University itu menyatakan harga minyak dunia diperkirakan masih akan bertahan di level US$100-an per barel hingga akhir 2022. Apalagi Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) memperkirakan permintaan terhadap gasoline dan diesel akan meningkat pada kuartal IV. “Perkiraan OPEC sekitar US$95-an per barel harga minyak, anggap saja harga minyak US$100-an, ICP tak akan beda jauh. Ini tentu bisa berbahaya, kalau kita tidak mengubah strategi kebijakan energi,” katanya.
Max juga menengarai, saat ini ada tren kenaikan konsumsi BBM, sedangkan produksi minyak nasional tidak ikut naik sehingga tidak bisa mengimbangi konsumsi. Kenaikan konsumsi BBM bisa jadi karena kesejahteraan masyarakat membaik sehingga bisa membeli kendaraan. Di sisi lain, transportasi publik masih belum bagus. “Ini harusnya direm seperti dengan menaikkan pajak kendaraan dan menaikan harga BBM,” kata dia.
Kenaikan konsumsi BBM yang tidak diikuti dengan kebijakan penyesuaian harga energi disaat harga minyak tinggi membuat masyarakat terus berburu BBM yang murah. Tidak hanya di transportasi, di sektor industri juga ternyata banyak yang nakal dengan menyalahgunakan selisih harga BBM subsidi dan nonsubsidi.
Max menyarankan pemerintah untuk memberbaiki strategi komunikasi tentang harga minyak dan dampak yang ditimbulkan harus dibangun dengan berbasis pada data. Komunikasi diperlukan untuk memberikan informasi mengenai besarnya subsidi yang ditanggung pemerintah dan beban badan usaha akibat kenaikan harga minyak yang tidak diikuti penyesuaian harga BBM dan LPG.
“Komunikasi yang dibangun harus bisa menujukkan setiap rupiah konsekuensi dari kenaikan harga minyak. Mudah-mudahan melalui literasi yang baik, kita bisa mengubah perilaku masyarakat. Ini subsidi sayang uangnya,” kata Max.
Dia mengungkapkan, beberapa studi menunjukan subsidi komoditas justru membuka jurang pendapatan yang makin lebar. Ada satu risiko ketimpangan yang makin besar. Menurut Max, sayang uang dihabiskan untuk memberikan subsidi energi, sedangkan Indonesia kehabisan uang untuk membangun energi baru terbarukan (EBT). “Kalau mau kompromi, naikkan saja harga BBM dan lainnya secara gradual. Ini juga untuk mengurangi beban pemerintah dan Pertamina,” ujarnya. (AT)
Komentar Terbaru