JAKARTA – PT Pertamina (Persero) akhirnya merampungkan digitalisasi SPBU. Dengan begitu pendistribusian BBM jenis solar bersubsidi sudah diawasi ketat secara online, baik oleh Pertamina maupun Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas).

M Lobo Balia, Anggota Komite BPH Migas mengatakan, selama ini alat untuk mengawasi transaksi pembelian solar bersubsidi di SPBU belum tersedia. Dengan selesainya program digitalisasi SPBU Pertamina, maka BPH Migas bersama Pertamina dapat melakukan profiling konsumen, mulai dari siapa yang membeli, volume pembelian, berapa kali transaksi dilakukan, dan di mana lokasi transaksi. Sistem ini telah jalan sejak pekan lalu.

“Ini diharapkan bisa membantu BPH Migas dan pemerintah, sehingga bisa diketahui subsidi solar ini kepada siapa,” kata Lobo dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (7/12).

Salah satu pendataan krusial yang kini terjadi adalah pencatatan nomor polisi kendaraan yang membeli solar bersubsidi. Walaupun, saat ini belum seluruh SPBU melakukan pendataan ini, seluruh SPBU wajib mencatat nomor polisi kendaraan konsumen yang membeli solar bersubsidi.

“Baru sebagian yang mencatat dengan tertib. Ini Pertamina sudah beri ultimatum kepada SPBU, fasilitas pencatatan sudah ada, tetapi enggak catat. Pertamina harus lebih keras kepada SPBU ini,” ungkap Lobo.

Dalam dashboard pengawasan online yang ditampilkan BPH Migas, terdapat 4.353 SPBU yang sudah online di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.050 SPBU seharusnya sudah dapat mencatat nomor polisi kendaraan, di mana 274 SPBU telah melakukan pencatatan 100% dan 2.552 SPBU belum optimal pencatatannya. Sisanya, 224 SPBU belum melakukan pencatatan sama sekali.

Sebagai contoh, dalam dashboard yang ditampilkan, tercatat terdapat transaksi tidak wajar di 95 SPBU di seluruh Indonesia. Sementara di 2.995 SPBU lain, transaksi pembeli solar bersubsidi yang dilakukan semuanya dalam volume wajar. Sedangka 1.303 SPBU tercatat tidak ada transaksi solar.

Lobo mencontohkan, pendataan konsumen SPBU secara digital sempat dilakukan Pertamina di Batam, Kepulauan Riau. Pasca dilakukan pendataan, realisasi penyaluran solar bersubsidi di wilayah ini terpangkas hingga 50%.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi penyaluran solar bersubsidi pada 2015-2018 lalu selalu di bawah alokasinya. Namun pada 2018, realisasi penyalurannya sudah hampir sama dengan alokasinya, yakni 16,12 juta kiloliter (KL) dibanding alokasi 16,23 juta KL. Sementara di tahun lalu, realisasi penyaluran solar bersubsidi mencapai 16,37 juta KL atau melampaui alokasi 15,11 juta KL. Pada tahun ini, alokasi solar bersubsidi ditetapkan sebesar 15,3 juta KL.

Jumali, Direktur Pemasaran Regional PT Pertamina Patra Niaga, mengatakan program digitalisasi SPBU memang dirancang bisa mencatat rincian transaksi pembelian solar bersubsidi di seluruh SPBU. Pihaknya mengupayakan agar sistem ini berjalan dengan baik. “Ini harus jalan karena ini akan mengawasi transaksi solar bersubsidi yang nilainya signifikan,” kata dia.

Namun, hal ini baru optimal jika seluruh pihak mau bekerja sama, termasuk masyarakat sebagai konsumen solar bersubsidi. Terkait pendataan nomor polisi kendaraan konsumen, pihaknya akan tegas memberikan sanksi kepada SPBU yang tidak melakukan pencatatan. Tetapi di sisi lain, pihaknya bersama BPH Migas juga harus gencar melakukan sosialisasi terkait pendataan ini ke masyarakat.

“SPBU harus catat dan masyarakat harus sadar harus mau dicatat (no polisi kendaraannya) kalau mau menikmati solar bersubsidi. Kalau dia sudah berhak mendapat subsidi ya wajib dicatat,” kata Jumali.(RI)