JAKARTA – Pemerintah tengah menggodok aturan main baru untuk menggairahkan pengembangan blok migas non konvensional. Nantinya dengan aturan baru Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang telah memiliki kontrak di suatu blok konvensional bisa langsung menggarap potensi jika sudah terbukti cadangan migas non konvensionalnya di wilayah blok yang sama.

“Jadi struktur yang ada di bawahnya, bisa diusahakan juga oleh WK di atasnya. Tidak perlu ada WK baru. Ini aturan yang sedang kami perbarui untuk menarik investasi,” kata Tutuka Ariadji, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, Rabu (24/3).

Salah satu jenis migas non konvensional yang fokus dikembangkan adalah shale oil karena Indonesia masih memerlukan minyak dalam jumlah besar. Migas non konvensional di Indonesia baru dikembangkan pada 2008 dengan penandatanganan WK Sekayu.

Minyak serpih (shale oil), juga disebut Kerogen Serpih (bitumen padat), adalah batuan sedimen berbutir halus yang mengandung kerogen (campuran dari senyawa-senyawa kimia organik) yang merupakan sumber terbentuknya minyak serpih yang merupakan hidrokarbon cair. Shale oil didefinisikan sebagai batuan sedimen ‘immature’, berbutir halus yang mengandung sejumlah besar material organik yang spesifik yaitu alginit dan/atau bituminit, yang apabila diekstraksi dengan dipanaskan (> 550 derajat celcius) akan menghasilkan minyak yang mempunyai potensi ekonomis.

Selain itu, pemerintah juga akan mengkaji pendekatan yang berbeda dalam upaya optimalisasi cadangan migas non konvensional. Selama ini Amerika Serikat jadi negara yang telah berhasil mengembangkan migas non konvensional. Amerika Serikat pun menjadi kiblat pengembangan migas non konvensional.

Tutuka mengatakan teknologi yang digunakan di negara tersebut tidak serta-merta dapat digunakan di Indonesia karena karakteristik batuannya yang berbeda. Karakteristik batuan migas non konvensional di Indonesia yang sedikit agak liat, menjadikan teknologi yang digunakan di Amerika Serikat perlu disesuaikan.

“Karakteristik batuan migas non konvensional di Indonesia berbeda dengan di Amerika. Jadi kita tidak bisa begitu saja menggunakan teknologi yang di Amerika. Perlu ada adjustment karena menurut informasi, batuan migas non konvensional kita lebih agak liat,” ungkap Tutuka.

Untuk lebih mengembangkan migas non konvensional, Tutuka menilai perlu dilakukan studi yang lebih mendalam agar diperoleh data-data yang lebih mendetail. Dukungan infrastruktur juga diperlukan dalam pengembangan migas non konvensional ketika  dilakukan massive fracturing.  “Ketika dilakukan massive fracturing, skala rekahannya besar. Jadi perlu infrastruktur yang memadai di permukaan,” kata Tutuka.(RI)