JAKARTA – Pemerintah akan fokus menangani potensi isu sosial yang akan timbul akibat insiden di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sorik Marapi di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara.

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan sejak insiden terjadi 25 Januari lalu pemerintah langsung memerintahkan penghentian kegiatan dan dilanjutkan dengan pelaksanaan investigasi.

“Tim sudah ke lapangan dan sekarang sedang memfinalisasi laporannya. Kami juga berkoordinasi dengan Pemda Madina untuk penyelesaian isu sosial,” kata Dadan kepada Dunia Energi, Rabu (3/2).

Dadan menegaskan penanganan isu sosial jadi kunci keberlanjutan pengembangan panas bumi Sorik Marapi dan PLTP lain. Untuk itu koordinasi intensif terus dilakukan dengan seluruh stakeholder dan lapisan masyarakat.

“Isu sosial sangat penting, dan PLTP tidak boleh menimbulkan keresahan di masyarakat, malah harus sebaliknya. Memberikan manfaat juga secara langsung kepada masyarakat lokal,” kata Dadan.

Berdasarkan dokumen kronologi kejadian yang diterima Dunia Energi, Pada senin 25 Januari 2021 pukul 11.30 WIB dilakukan persiapan pembukaan sumur SMP-T02 untuk komisioning PLTP Unit II (15 MW).

Sekitar pukul 12.00 WIB, tim Welltest mulai membuka sumur SMP T-02 dan muncul kepulan fluida berwarna gelap dari ujung silencer serta bergerak secara horizontal ke area sawah dan ladang selama 3 menit.

Kemudian muncul uap panas bumi berwarna putih yang mengalir secara vertikal. Sekitar 10 menit kemudian, salah seorang warga menerobos masuk ke area wellpad dan meminta sumur ditutup karena beberapa pingsan di area sawah.

PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) segera menghentikan kegiatan well discharge dan melakukan evakuasi warga yang terdampak. Akhirnya kejadian tersebut mengakibatkan korban dari warga sebanyak lima orang meninggal dan 46 orang menjalani perawatan di RS, tiga orang rawat jalan, dan satu orang penanganan medis.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), mengatakan jika ada kebocoran gas seperti H2S dalam pengembangan panas bumi maka itu adalah kecelakaan fatal.

“Tapi ini salah satu risiko dari pemanfaatan panas bumi. Dari mulai eksplorasi sampai dengan produksi risiko-risiko tersebut ada. Yang harus diperhatikan adalah peningkatan kesiapan operasi dan standar HSE untuk menurunkan risiko-risiko tersebut. Operator juga harus selalu punya standar yang tinggi dan contigency plan,” kata Fabby.

Menurut Fabby, kasus kecelakaan di PLTP Sorik Marapi ini akan membuat warga lebih apriori dan resistan terhadap pengembangan panas bumi. Untuk itu seluruh elemen penggiat panas bumi bersama dengan pemerintah harus sigap menyikapi potensi penolakan masyarakat.

“Menurut saya setelah ini komunitas panas bumi dan pemerintah harus mampu menjelaskan kepada masyarakat apa yang sepenuhnya terjadi dan mengedukasi masyarakat mengenai panas bumi sehingga tidak muncul ketakutan dan penolakan yang berlebihan terhadap PLTP,” kata Fabby.(RI)