JAKARTA – Pemerintah terus berupaya memberikan dukungan kebijakan untuk menjaga produktivitas dunia usaha kehutanan. Kebijakan tersebut juga dikeluarkan dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi masyarakat, serta mempertahankan penyerapan tenaga kerja di tengah pandemi Covid-19.

Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengatakan pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, LSM, akademisi, dan masyarakat terus merapatkan barisan, untuk menjaga komitmen yang kuat terhadap pembangunan kehutanan di Indonesia, khususnya bidang pengelolaan hutan lestari.

“Hal ini penting di tengah pandemi Covid-19 yang turut berdampak terhadap seluruh sektor usaha, termasuk usaha kehutanan,” kata Bambang saat membuka Rapat Kerja Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (Raker APHI) yang digelar secara virtual, Rabu (2/12).

Bambang mengatakan pemerintah optimistis usaha sektor kehutanan ke depan dapat terus meningkatkan kinerjanya. Optimisme tersebut dibarengi dengan pemberian insentif kebijakan fiskal untuk terus mendorong iklim usaha kehutanan.

Selain insentif fiskal, pemerintah juga telah memberikan kemudahan berusaha melalui Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK). Terbitnya UUCK ini, memberikan kemudahan untuk melakukan redesain usaha kehutanan, dalam rangka optimalisasi sumber daya hutan, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

“Selain memberikan kemudahan dan kepastian dalam mendapatkan perizinan berusaha, UUCK juga menjamin penyederhanaan perizinan dari semula 1 izin untuk 1 kegiatan, menjadi 1 perizinan berusaha untuk multiusaha,” ujar Bambang.

Bambang menambahkan bahwa UUCK juga memberikan kepastian kawasan, kepastian waktu usaha atas investasi baru sektor hulu kehutanan melalui peta arahan pemanfaatan hutan produksi dan hutan lindung.

Bambang menekankan, keberadaan perizinan berusaha pemanfaatan hutan sesuai dengan UUCK merupakan terobosan yang luar biasa dan sudah lama ditunggu. Dalam UUCK ini, terdapat pergeseran menjadi satu perizinan berusaha dengan multi kegiatan (multiusaha), dengan fokus tidak hanya kayu, tetapi disesuaikan dengan karakteristik dari masing-masing areal (timber management menjadi landscape management). Sebelumnya, berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, basisnya satu izin usaha untuk satu kegiatan yang fokusnya kayu oriented.

“Jadi, nanti hasil hutan yang dihasilkan dari perizinan berusaha tidak hanya kayu semata, tetapi dapat sekaligus dengan HHBK, Wisata Alam, Agroforestry, Silvopastura, silvofishery. Pada akhirnya, tercipta optimalisasi pemanfaatan dan produktivitas Hutan Produksi (HP) akan meningkat, dan pada gilirannya akan meningkatkan PNBP sektor kehutanan,” kata Bambang.

Indroyono Soesilo, Ketua Umum APHI, mengatakan di tengah pandemi Covid-19, sebagian besar kegiatan APHI di tahun 2020 difokuskan untuk mendorong dan memberikan dukungan kepada anggotanya agar tetap bertahan dan menjalankan kegiatan operasionalnya.

“Setelah sempat turun hingga minus 8.4% pada Mei 2020, namun sejak Agustus 2020 hingga November 2020 kinerja ekspor hasil hutan Indonesia sudah rebound, year on year, menjadi minus 4,9% dibandingkan dengan bulan November 2019 dan kita menargetkan devisa dari ekspor produk kehutanan, hulu – hilir, dapat mencapai diatas US$ 11 miliar,” ujar Indroyono.

Indroyono menyatakan keberhasilan mempertahankan kinerja dan tenaga kerja, tidak lepas dari dukungan kebijakan pemerintah dalam mendukung investasi. Puncak dari kebijakan untuk mendukung investasi di tengah Covid-19 adalah terbitnya UU 11 /2020 tentang Cipta Kerja.

Melalui UU ini, pengelolaan hutan berbasis satu perizinan berusaha untuk memanfaatkan multiusaha kehutanan yang meliputi hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, pemanfaatan kawasan dan jasa lingkungan, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu mendapat payung kebijakan yang kuat.

“Dalam konteks ini, maka ke depan akan terjadi pergeseran paradigma pengelolaan hutan, yang awalnya berbasis komoditas, menuju berbasis ekosistem,” tandas Indroyono.(RA)