JAKARTA – Komisi VII DPR menegaskan  pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) terus dipercepat dan akan rampung tahun ini.

Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR, mengatakan jika tidak ada halangan maka Indonesia akan memiliki UU khusus EBT pada Oktober 2021.

“Per 25 Januari sudah dapat draft baru. InsyaAllah Oktober nanti UU EBT akan segera tuntas juga UU baru di Indonesia,” kata Sugeng disela webinar, Kamis (28/1).

Dia meminta semua stakeholder konsisten dalam mengawal pembahasan UU EBT yang sangat dinantikan sebagai fondasi untuk meningktakan bauran EBT dalam bauran energi nasional.

Menurut Sugeng, sekarang hanya Presiden Joko Widodo yang bisa mengubah niatan untuk mencapai target 23% bauran EBT pada 2025 mendatang. “Inilah kita harus konsisten, kecuali presiden katakan surrender karena Covid target 23% direvisi. Tapi kalau enggak ada revisi, kita harus kawal dan jalan terus,” ungkap Sugeng.

Berdasarkan draf RUU EBT yang diterima Dunia Energi ada dua klasifikasi yakni energi baru dan energi terbarukan. Untuk energi baru menitberatkan pada energi nuklir.

Pada pasal 6 disebutkan bahwa sumber energi baru terdiri dari nuklir dan sumber energi baru lainnya. Pemanfaatan nuklir digunakan sebagai pembangkit listrik dan pembangkit panas.

Untuk pembangunan, pengoperasian dan dekomisioing pembangkit listrik nuklir dilakukan oleh badan usaha milik negara khusus. Sementara pembangkt panas nuklir dilakukan oleh badan usaha milik negara, koperasi atau badan swasta.

Dalam pasal 19 disebutkan pemerintah pusat dapat menetapkan badan usaha milik negara yang melakukan pertambangan bahan galian nuklir, termasuk pertambangan yang menghasilkan mineral ikutan radioaktif. Badan usaha tersebut wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat dan dapat bekerja sama dengan badan usaha swasta.

Terkait masalah perizinan yang diatur dalam pasal 13, badan usaha yang memiliki perizinan berusaha wajib memuat persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan dan persyaratan finansial.

Di pasal 18 yang menerangkan pengusahaan energi baru dapat dilakukan dalam bentuk pembangunan fasilitas energi baru, pembangunan fasilitas penunjang energi baru, operasi dan pemeliharaan fasilitas energi baru, pembangunan fasilitas penyimpanan, pembangunan fasilitas distribusi energi baru dan pembangunan fasilitas pengolahan limbah energi baru. Di pasal 19, badan usaha diperbolehkan untuk melakukan ekspor atau impor sumber energi baru.

Dalam hal penyediaan di pasal 22 disebutkan penyediaan energi baru oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah diutamakan di daerah yang belum berkembang, daerah terpencil dan daerah pedesaan dengan menggunakan sumber energi baru setempat. Daerah penghasil sumber energi baru mendapat prioritas untu memperoleh energi baru dari daerahnya.

Selain itu pada pasal 24 disebutkan Pemerintah Pusat dapat menugaskan perusahaan listrik milik negara atau badan usaha milik swasta untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari energi baru. Pemerintah Pusat dapat menugaskan perusahaan minyak dan gas bumi milik negara atau badan usaha milik swasta untuk membeli bahan bakar yang dihasilkan dari energi baru.

Sementara itu untuk energi terbarukan pada pasal 26 terdiri dari panas bumi, angin, biomassa, sinar matahari, aliran dan terjunan air, sampah, limbah produk pertanian, limbah hewan ternak, gerakan dan perbedaan suhu laut dan lainnya.

Terkait perizinan, pengusahaan dan penyediaan serta penugasan untuk energi terbarukan ketentuannya di pasal selanjutnya sama seperti yang dimandatkan untuk energi baru.

Adapun untuk harga energi baru dan terbatukan yang diatur dalam pasal 50, ditetapkan oleh pemerintah pusat berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan dengan mempertimbangkan tingkat pengembalian yang wajar bagi badan usaha.

Pasar 51 menyebutkan penetapan harga jual listrik yang bersumber dari energi terbarukan berupa tarif masukan berdasarkan jenis, karakteristik, teknologi, lokasi, dan atau kapasitas terpasang pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan; harga indeks pasar bahan bakar nabati; dan atau mekanisme lelang terbalik.

Dalam hal harga listrik yang bersumber dari Energi Terbarukan lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan pembangkit listrik perusahaan listrik milik negara, Pemerintah Pusat berkewajiban memberikan pengembalian selisih harga energi terbarukan dengan biaya pokok
penyediaan pembangkit listrik setempat kepada perusahaan listrik milik negara dan atau badan usaha tersebut.

Dalam pasal 52 mengenai insentif disebutkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan insentif kepada badan usaha yang mengusahakan EBT; danbadan usaha di bidang tenaga listrik yang menggunakan energi tak terbarukan yang memenuhi standar portofolio energi terbarukan. Insentif yang diberikan berupa insentif fiskal atau nonfiskal.

Adapun untuk dana pengusahaan EBT dalam pasal 53 bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), pungutan ekspor energi tak terbarukan, dana perdagangan karbon, dana sertifikat energi terbarukan, dan atau sumber lain yang sah dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dana EBT bisa digunakan untuk subsidi harga energi terbarukan yang harganya belum dapat bersaing dengan energi tak terbarukan.(RI)