JAKARTA – Akhir-akhir ini isu penerapan pajak karbon di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia terus menggeliat. Hal itu tidak lepas dari proses transisi energi yang terus terjadi. Penerapan pajak karbon sudah mulai dilakukan di beberapa negara. Harapannya tentu bisa meningkatkan kualitas lingkungan yang makin terasa menurun akibat berbagai kegiatan eksploitasi sumber daya alam.

Arcandra Tahar, mantan Menteri dan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan karbon banyak dihasilkan dari kegiatan manusia, seperti migas, pertambangan mineral, termasuk juga aktivitas pertanian dan peternakan. Karbon dalam bentuk Carbon Dioksida (CO2), Carbon Monoksida (CO) dan juga gas Methane (CH4) dibuang ke udara dan ditengarai menjadi penyebab terjadinya perubahan iklim (climate change).

Salah satu efek negatif dari perubahan ilkim adalah kenaikan rata-rata suhu bumi beberapa derajat, sehingga es di kutub utara dan selatan mencair. Dengan cairnya es, garis pantai akan berubah dan banyak pulau terancam tenggelam. Semakin banyak karbon yang dibuang ke udara maka ancaman terhadap ekosistem di bumi semakin besar.

Untuk mengurangi agar karbon tidak dibuang ke udara sejumlah negara telah mengenakan pajak kepada badan usaha yang masih melakukannya. Besarnya bervariasi tergantung negaranya. Misalnya di Eropa, pajak karbon bervariasi antara US$1 dan US$100 per ton CO2 yang dihasilkan. “Semakin besar CO2 yang dihasilkan semakin mahal ongkos produksi yang harus ditanggung perusahaan tersebut,” kata Arcandra di akun instagramnya, Rabu (4/8).

Menurut dia, ini bisa jadi efek jera yang diterapkan agar pelaku usaha mau beralih ke energi terbarukan dan melakukan efisiensi dari sisi penggunaan energi oleh alat-alat produksi mereka. “Namun demikian pajak yang dikenakan ini tentu berdampak terhadap harga barang yang dihasilkan dan pada akhirnya konsumen yang harus menanggungnya,” ungkap Arcandra.

Di sektor pertambangan, besarnya karbon yang dihasilkan dari usaha ini tergantung dari jenis komoditas (mineral). Aluminium termasuk komoditas yang menghasilkan karbon terbesar disusul dengan baja dan nikel. Karbon dari aluminium berasal dari energi listrik murah (PLTU) yang banyak digunakan di China. Baja dan nikel menghasilkan karbon dari pemakaian batu bara sebagai reduktor untuk pengolahan biji besi atau biji nikel. Ditambah lagi kalau listrik yang digunakan juga berasal dari PLTU.

Tembaga, zinc dan emas termasuk komoditas yang menghasilkan karbon rendah. Artinya penerapan pajak karbon tidak banyak pengaruhnya terhadap harga jual komoditas tersebut. Akan sangat berbeda dengan aluminium, baja dan nikel. Harganya akan naik tajam dengan diterapkannya pajak karbon.

Bagaimana dampak penerapan pajak karbon oleh beberapa negara didunia? Pertama, akan banyak relokasi smelter aluminium, baja dan nikel ke negara-negara yang belum menerapkan pajak karbon. Eropa Barat dan Kanada sudah memulai pajak karbon, namun Amerika Serikat, China dan India masih pikir-pikir.

Kedua, harga komoditas yang berubah akibat pajak karbon membuat pelaku usaha mensubsitusi mineral yang menghasilkan karbon tinggi dengan yang rendah. Misalnya penggunaan alumunium diganti dengan tembaga untuk power transmisi.

“Ketiga, penggunaan energi terbarukan di sektor pertambangan akan semakin meningkat. Walaupun listrik yang dihasilkan oleh energi terbarukan lebih mahal daripada energi fosil namun ongkos produksi secara keseluruhan akan lebih murah dengan diterapkannya pajak karbon,” ungkap Arcandra.

Di Indonesia sendiri rencananya akan mulai diterapkan pajak karbon emisi pada tahun depan. Kebijakan ini sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi emisi karbon. Nantinya, produsen listrik berbasis energi fosil seperti Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) akan ikut terkena pajak karbon ini.(RI)