JAKARTA – Pemerintah akhirnya mengambilalih pembahasan transisi Blok Rokan, ladang minyak dan gas di Riau yang saat ini dikelola oleh PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), anak usaha Chevron Corp, perusahaan migas multinasional yang tercatat di Bursa New York. Semula pemerintah memberikan kesempatan kepada para kontraktor, yakni PT Pertamina (Persero) dan CPI untuk berdiskusi menemukan jalan agar investasi di Blok Rokan, terutama pengeboran tidak berhenti, namun sampai sekarang titik temu belum juga dicapai.

Dwi Soetjipto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), mengatakan berdasarkan arahan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan pertimbangan menjaga lifting minyak nasional maka SKK Migas akan langsung membahas transisi dengan Chevron tidak lagi sebagai fasilitator seperti sebelumnya. Menurut Dwi, Chevron sudah dipanggil oleh Menteri ESDM untuk membahas langkah terbaru ini.

“Kami fokus dengan urusan business to business, ada beberapa permasalahan yang muncul. Kami tahu posisi Pertamina harus bagaimana, CPI bagaimana. Ini tampaknya cukup kompleks dengan beberapa opsi. Tapi ini juga legally cukup kompleks kami sedang melihat opsi berikutnya, CPI juga sudah dipanggil Pak Menteri minggu kemarin, akhirnya sekarang diarahkan untuk sepakat dengan CPI untuk melihat opsi lain dimana urusan antara business dengan government,” kata Dwi kepada Dunia Energi di Jakarta, Rabu (5/2).

Menurut Dwi dengan langkah ini maka kemungkinan besar akan ada kebijakan yang khusus diberikan kepada Chevron dari pemerintah. Dengan catatan pihak Chevron sepakati adanya  transisi dengan investasi di Rokan harus terjadi pada tahun ini. “Kemungkinan harus ada diskresi-diskresi khusus yang diharapkan bisa diberikan pemerintah tapi memberi keuntungan bahwa investasi 2020 ini jalan, mungkin ini yang akan diusulkan,” jelas Dwi.

Dwi menyebutkan, SKK Migas akan memanggil Chevron dalam waktu dekat dan membahas insentif transisi sehingga dimungkinkan ada kegiatan investasi berupa pengeboran di Rokan oleh Pertamina. Dia menargetkan dalam tempo dua pekan ke depan SKK Migas akan melaporkan hasil pembicaraan dengan Chevron kepada Menteri ESDM. “Ini yang lagi dibahas kami janji dengan CPI kami akan bicarakan ini dan dalam dua minggu kami akan sampaikan ke Government (pemerintah) diskresi apa yang dibutuhkan. Agar investasi 2020 jalan,” kata Dwi.

Investasi diperlukan di Blok Rokan, bukan hanya untuk menahan laju penurunan produksi alami yang diprediksi akan cukup besar pada tahun ini. Menurut Dwi investasi juga diperlukan untuk menjaga kondisi reservoir yang ada di Blok Rokan agar decline rate di sana tidak semakin besar karena jika tidak nanti pekerjaan Pertamina akan semakin sulit untuk menahan laju penurunan produksi setelah resmi menjadi operator pada Agustus 2021.

Tahun lalu saja, dengan ketiadaan kegiatan masif di Rokan realisasi lifting minyak harus turun jika dibandingkan 2018. Tahun lalu lifting di level 190 ribuan barel per hari turun sekitar 10 ribu barel per hari ketimbang 2018 masih berada di level 200 ribuan barel per hari.

“Kalau tidak ada action bisa sampai 160 ribuan barel per hari tahun 2020, kalau ada action bisa dekatkan dengan yang realisasi sebelumya, investasi dibutuhkan untuk menjaga reservoir, jadi kalau nggak ada aktivitas reservoir di dalam perut bumi ini ada reservoir maintenance. Ini yang kita butuhkan,” ujar Dwi.

Manajemen Chevron mengaku tidak ada rencana untuk melakukan pengeboran pada tahun ini melanjutkan rencana kerja tahun lalu. Itu berarti Chevron terakhir kali melakukan pengeboran pada 2018. Tahun ini perusahaan yang bermarkas di Amerika Serikat itu hanya berencana untuk melakukan beberapa kegiatan seperti work over atau kerja ulang sumur dan well service atau perawatan sumur.

Albert Simanjuntak, Presiden Direktur CPI, mengungkapkan terakhir kali pengeboran sumur di Rokan dilakukan pada 2018. Menurut Albert, dengan berakhirnya kontrak Chevron pada 2021, pengeboran di Rokan tidak lagi ekonomis bagi Chevron. “Saat ini kami sudah nggak ekonomis untuk bor sumur, terakhir kami bor 2018, 89 sumur,” kata Albert.

Pertamina memang sudah mengeluhkan adanya kesulitan untuk melakukan investasi di blok Rokan di masa transisi ini karena kontrak Chevron di sana memang belum selesai. Padahal sudah ada tiga opsi cara agar investasi dan pengeboran tetap bisa dilakukan pada masa transisi. Pertama adalah Chevron yang mendanai dan melakukan pengeboran, kedua Chevron melakukan pengeboran dan Pertamina yang mendanai. Ketiga Pertamina mendanai dan yang melakukan pengeboran.

Selain itu Pertamina juga diminta untuk melakukan Enhance Oil Recovery (EOR) di Rokan. Namun itu juga terganjal formula EOR yang hanya dimiliki Chevron sehingga harus kembali melalui kesepakatan bisnis karena bukan bagian yang di-cost recovery sehingga tidak wajib dikembalikan ke negara.

Albert mengatakan terkait salah satu formula yang tidak termasuk cost recovery nantinya menjadi urusan business to business (B-to-B) dengan Pertamina.

“Ada formulanya termasuk cara melaksanakannya, SOP teknisnya. Chemical-nya diproduksi oleh Chevron, tentu pabriknya miilik Chevron. Nanti ada pembicaraan B-to-B,” ujar Albert.

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina mengatakan kajian terkait EOR memang telah dilakukan oleh CPI selama empat tahun.

“Ini yang sebetulnya kita inginkan agar diserahkan juga ke Pertamina ketika nanti terjadi alih kelola karena kami berpikir ini cost recovery. Namun ternyata ada formula yang nggak masuk cost recovery,” kata Nicke. (RI)