JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menegaskan PT Pertamina (Persero) harus bertanggung jawab untuk melakukan upaya penanggulangan tumpahan minyak, upaya pemulihan, dan mengganti kerugian masyarakat beserta lingkungan hidup akibat tumpahan minyak YYA-1 di Blok Offshore North West Java (ONWJ). Hal ini sesuai ketentuan pasal 53 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 15 dan 16 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, dan pasal 11 Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut.

Upaya pemulihan ekosistem merupakan bagian dari pertanggungjawaban mutlak korporasi, sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Memperhatikan banyaknya statement yang mengaitkan dengan human error dalam tragedi ini, kami mengingatkan bahwa dalam kasus lingkungan hidup, tuntutan dapat dijatuhkan kepada badan usaha (Pasal 116 UU PPLH 32/2009). Kerugian lingkungan hidup yang terjadi menjadi tanggungjawab mutlak korporasi, tanpa perlu mempertimbangkan kesengajaan ataupun tidak, bahkan dalam pasal 88 UU PPLH menyebutkan “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan,” kata Dwi Sawung, Manajer Pengkampanye Perkotaan dan Energi Walhi, Senin (29/7).

Disisi lain perlu diingat bahwa pemerintah tetap memiliki tanggung jawab dalam kasus ini, baik dalam konteks pengawasan, pengelolaan, ataupun perlindungan lingkungan hidup.

Lebih lanjut Dwi menjelaskan, secara spesifik ditegaskan juga dalam Perpres Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut Pasal 11, yakni ;

“Setiap pemilik atau operator kapal, pimpinan tertinggi pengusahaan minyak dan gas bumi atau penanggungjawab tertinggi kegiatan pengusahaan minyak lepas pantai atau pimpinan atau penanggung jawab kegiatan lain,yang karena kegiatannya mengakibatkan terjadinya tumpahan minyak di laut, bertanggung jawab mutlak atas biaya:

a. penanggulangan tumpahan minyak di taut;
b. penanggulangan dampak lingkungan akibat tumpahan minyak di laut;
c. kerugian masyarakat akibat tumpahan minyak di laut; dan
d. kerusakan lingkungan akibat tumpahan minyak di laut.

“Belajar dari kasus Balikpapan, pertama kalau itu berkaitan dengan human error maka yang harus di cek adalah SOP dan atau tata laksana kerja serta upaya penanggulangan jika terjadi semburan dan tumpahan minyak. Kedua, untuk kejadian yang sekarang,dan juga harus mengecek kembali dokumen lingkungan kegiatan tersebut,” kata Dwi.

Dalam hal ini, menurut dia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus bergerak cepat untuk memeriksa kembali dokumen lingkungan. Walhi mengapresiasi gugatan KLHK terhadap peristiwa kebocoran minyak di Balikpapan dan semoga hal ini dilakukan terhadap tumpahan minyak di blok ONWJ.

Walhi mendesak Pertamina bertanggung jawab atas hilangnya sumber mata pencaharian nelayan dan tentu juga harus bertanggungjawab membersihkan tumpahan minyak dan juga memulihkan lingkungan yang terdampak.

“Gugatan KLHK atas Pertamina terhadap kasus tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, kami apresiasi sebagai langkah hukum yang tepat. Seharusnya gugatan ini juga menjadi pembelajaran bagi Pertamina, perusahaan lainnya, serta pemerintah sebagai pemberi izin untuk lebih memperhatikan resiko yang akan diterima lingkungan hidup dalam jangka panjang, yang pada akhirnya berdampak pada risiko hak atas lingkungan hidup bagi rakyat,” tandas Dwi.

Pada 12 Juli 2019 telah terjadi semburan gas di sumur lepas pantai YYA1 di Blok Offshore North West Java yang dikembangkan PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, PT Pertamina Hulu Energi (PHE). Dwi mengatakan tumpahan minyak yang seharusnya bisa dikendalikan menyebar tidak terkendali hingga mencemari pantai di Karawang dan Bekasi, Jawa Barat.

“Jika makin tidak terkendali makan peristiwa seperti yang terjadi pada kasus deep water horizon akan terulang,” kata Dwi.

Dwi menjelaskan, berdasarkan data tumpahan minyak mentah mengotori enam desa, sejumlah pantai di Karawang, hingga Muara Gembong, Bekasi. Beberapa pantai di Karawang yang ditutup adalah Pantai Tanjung Pakis, Pantai Sedari, Pisangan, Samudera Baru, Pantai Pelangi. Sebab kondisi bibir pantai Karawang sudah menghitam. Hal ini berdampak terhadap ekonomi masyarakat yang bekerja di bidang pariwisata sekitar pantai

Petambak juga terdampak akibat tumpahan minyak tersebut. Belum lagi nelayan yang mengalami kesulitan mendapatkan ikan di laut. Derita kerugian akibat tumpahan minyak Pertamina ini berpengaruh secara ekologis dan ekonomis. Dalam jangka panjang kerusakan lingkungan membutuhkan waktu untuk pulih.

Banyak ikan dan udang mati akibat tumpahan minyak yang mencemari air laut. Akibatnya, ribuan nelayan terpaksa berhenti paksa mencari ikan dan tentu saja hal ini menyebabkan pendapatan menurun bahkan tidak ada. Limbah minyak sudah jauh menyebar ke lautan, sehingga ikan yang ditangkap oleh nelayan kemungkinan sudah tercemar limbah. Meski sudah susah payah menangkap ikan masyarakat juga menahan diri untuk tidak membeli ikan hasil tangkapan nelayan sekitar tumpahan minyak karena takut sudah tercemari oleh tumpahan minyak yang berbahaya bagi kesehatan.

“Jika Pertamina menyepakati untuk mengganti rugi dampak yang diterima warga, Pertamina juga harus bertanggung terhadap kerugian, dan kerusakan lingkungan hidup. Serta upaya pemulihannya,” kata Dwi.(RA)