JAKARTA – Mineral Industry Indonesia (MIND ID), induk holding Badan Usaha MIlik Negara (BUMN) tambang mendukung rencana pembangunan smelter PT Freeport Indonesia melalui strategi kemitraan.

Orias Petrus Moedak, Direktur Utama MIND ID, mengungkapkan pada dasarnya holding menyambut baik jika biaya investasi pembangunan smelter yang harus digelontorkan bisa ditekan. Saat ini kebutuhan dana untuk membangun smelter baru mencapai US$3 miliar.

“Dari posisi MIND ID karena ini berpengaruh ke capital expenditure (capex), kami mendukung kalau ada spending lebih rendah dari perkiraan awal. Opsi lain juga kami pertimbangkan. Yang terbaru dengan Tsingshan, di mana kontribusi lebih kecil dari awal,” kata Orias disela rapat dengar dengan Komisi VII DPR, Senin (7/12).

Hanya saja Orias belum bisa memastikan kelanjutan kerja sama dnegan perusahaan baja asal negeri Tiongkok itu karena pembicaraan masih dalam tahap awal.

Menurut Orias, pembicaraan antara Freeport Indonesia dan Tsinghan berpotensi tidak akan bisa dengan cepat mencapai akhir karena adanya pergantian tahun.

“Tahapnya masih pembicaraan awal. Mau melangkah cepat tapi kami paham kalau dengan Tsingshan, ada dua kali tahun baru yang berdampak pada kecepatan pengambilan keputusan,” ungkap Orias.

Tony Wenas, Direktur Utama Freeport Indonesia, mengatakan pembicaraan awal dengan Tsingshan sudah dilakukan untuk mengatahui metode kerja sama hingga jangka waktu pembangunan smelter.

“Benar kami di-approach Tsingshan yang mau bangun smelter tembaga di Halmahera, masih tahap pembicaraan. Kami mau tahu metodenya seperti apa, kapastias, jadwal pembangunan. Masih pembicaraan, belum ada kesepakatan,” kata Tony.

Menurut Tony, jika memang dari hasil pembahasan kerja sama nanti menguntungkan Freeport Indonesia dibanding membangun smelter sendiri maka manajemen dengan senang hati berita. Bahkan memindahkan lokasi pembangunan smelter dari Gresik ke Halmahera. Hanya saja Tony menegaskan keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah.

“Kalau secara ekonomis dan teknis lebih memungkinkan, kita prefer itu(kerja sama dengan Tsingshan). Kami mau explore, tapi apapun yang dilakukan akan minta arahan pemerintah. Kalaupun dari Tsingshan sudah ekonomis dan technically memungkinkan, tentu kita minta arahan pemerintah,” ungkap  Tony.

Menurut Tony, Freeport tidak akan tertutup hanya melakukan pembicaraan dengan Tsinghan yang diinisiasi oleh pemerintah. Di luar itu manajemen juga terbuka jika ada perusahaan lain yang berminat untuk ikut serta dalam pembangunan smelter Freeport yang jadi salah satu syarat utama ketika Freeport berubah dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

“Kami terbuka pada siapapun juga yg mau bangun smelter lebih cepat dan lebih murah dari kami, kami terbuka dengan mereka,” ujar dia.

Keterlibatan mitra dalam pembangunan smelter adalah babak baru dalam drama Freeport yang tidak berkesudahan. Manajemen Frerport sudah kerap kali menyatakan bahwa proyek smelter Freeport adalah proyek rugi padahal membangun smelter sudah disepakati Freeport sebagai salah satu syarat mendapatkan perpanjangan kontrak hingga 2041 di tambang Grasberg, Papua.

Sebelumnya Freeport McMoran salah satu pemegang saham PTFI juga mengusulkan agar smelter baru tidak perlu dibangun. Sebagai gantinya Freeport Indonesia disarankan agar mengembangkan fasilitas smelter yang sekarang telah dimiliki di Gresik.

Richard Adkerson, President dan Chief Executive Officer (CEO) Freeport McMoRan, mengungkapkan Freeport telah memiliki fasilitas smelter yang sudah lama dibangun dan beroperasi. Maka sebenarnya tinggal dilakukan peningkatan kapasitas dan kualitas dengan menambahkan fasilitas logam mulia.

“Jadi alternatifnya adalah, daripada membangun smelter baru, bisa juga dengan ekspansi smelter Gresik yang sudah ada dan menambahkan fasilitas pengolahan logam mulia,” kata Adkerson.(RI)