JAKARTA – Dalam pertemuan Conference of Parties (COP) ke-26, pemerintah Indonesia mengklaim masih dalam posisi tegas untuk turut ikut berperan dalam menanggulangi perubahan iklim melalui transisi energi.

Upaya ini tengah ditempuh Indonesia demi mencapai target penurunan emisi maupun Net Zero Emission (netralitas karbon) yang ditargetkan akan tercapai di tahun 2060 atau lebih awal.

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan, persoalan lingkungan dan ketegasan menjalankan misi tersebut membutuhkan daya dukung transisi energi sehingga membuka ruang pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang optimal.

“Transisi energi menuju net zero emission membutuhkan infrastruktur energi, teknologi, dan pembiayaan. Melalui peningkatan infrastruktur seperti interkoneksi jaringan, kita (Indonesia) berpeluang untuk mengoptimalkan pemanfaatan EBT,” jelas Arifin disela Ministrial Talks, dalam rangkaian agenda Conference of Parties (COP) ke-26 di Paviliun Indonesia, Glasgow, UK, Senin (1/11).

Indonesia, kata Arifin, berencana mulai mengembangkan Super Grid pada tahun 2025 untuk mengatasi kesenjangan antara sumber EBT dan lokasi di daerah yang memiliki permintaan listrik yang tinggi. “Sebagai negara kepulauan, kita perlu menyediakan akses listrik ke seluruh masyarakat lokal setempat,” ujar dia.

Sementara penerapan teknologi tepat guna juga diperlukan tidak hanya untuk menjaga dan meningkatkan keandalan dan efisiensi pasokan, tetapi juga untuk mengintegrasikan sumber EBT dan mengantisipasi sifat intermitten EBT, seperti matahari dan angin.
“Teknologi yang dibutuhkan untuk mengembangkan EBT termasuk jaringan pintar (smart grid), smart meter dan sistem penyimpanan energi termasuk pumped storage dan Battery Energy Storage System (BESS),” ujar Arifin.

Menurut dia peran sektor swasta sebagai penopang finansial selain pemerintah dan lembaga keuangan sebagai aspek penting dalam meningkatkan dan mempercepat implementasi energi rendah karbon. Arifin menilai diperlukan kebijakan dan regulasi yang tepat untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. “Kami berusaha untuk mencapainya dengan menyederhanakan dan merampingkan kerangka peraturan,” ungkapnya.

Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara 2021 – 2030 dimana porsi sumber energi berbasis EBT melebihi porsi energi fosil, yaitu sebesar 51,6% atau setara dengan 20,9 Giga Watt (GW). “Kami mengakui bahwa kerangka peraturan sangat penting untuk mempercepat penyebaran energi terbarukan dan memastikan keberhasilan transisi energi kami,” ungkap Arifin.

Arifin menegaskan, penambahan kapasitas pembangkit listrik hanya akan berasal dari EBT mulai tahun 2035. “Pemanfaatan panas bumi dimaksimalkan hingga 75% dari potensi, pembangkit hidro dioptimalkan ke pusat beban di pulau-pulau kecil dalam menyeimbangkan pembangkit listrik VRE,” jelasnya.

Kementerian ESDM sendiri terus menjalin kerja sama secara aktif dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta kementerian negara dan lembaga lainnya dalam memenuhi target penurunan emisi. “Namun, kami menyambut baik dukungan dari sektor swasta, baik di tingkat nasional maupun internasional, untuk membantu kami memenuhi target ini lebih cepat,” tegas Arifin. (RI)