JAKARTA – Mega proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) dinilai rentan tindak korupsi. Sejak Juli 2018 Komisi Tindak Pidana Korupsi (KPK) mulai melakukan penindakan terhadap kasus tindak pidana korupsi dalam proyek PLTU Riau-1 (2×300 MW) yang melibatkan Eni Saragih (Mantan Anggota DPR), Idrus Marham (Mantan Menteri Sosial), Johanes B Kotjo (Mantan Konsultan dari Blackgold Natural Resources, salah satu sponsor dalam konsorsium), dan Sofyan Basir (Mantan Direktur Utama PLN).

Di samping itu, KPK juga sudah menangani kasus tindak pidana korupsi yang telah memidanakan Dewie Yasin Limpo (Mantan Anggota DPR) yang terbukti menerima suap dari pengusaha untuk mengamankan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Kabupaten Deiyai, Papua di tahun 2016.

“Kerentanan korupsi dalam proyek pembangkit listrik nasional yang terefleksikan dari kasus-kasus seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia untuk memperkuat upaya pencegahan korupsi di sektor kelistrikan,”  kata Dadang Trisasongko, Sekretaris Jendral Transparency International Indonesia (TII), dalam acara diskusi di Jakarta, Selasa (29/10).

Menurut Dadang, dalam mega proyek 35.000 MW porsi pengerjaan PT PLN (Persero) hanya 10.000 MW, sedangkan Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) mencapai 25.000 MW. Kemudian, melalui terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 tahun 2016, perusahaan dituntut untuk mematuhi hukum yang berlaku termasuk UU Tipikor dan mengimplementasikan sistem pencegahan korupsi.

Untuk menilai kesiapan perusahaan di sektor kelistrikan Indonesia dalam mencegah korupsi, Transparency International Indonesia (TII) melakukan kajian “Transparency in Corporate m Reporting: Penilaian terhadap Pengembang Pembangkit Listrik (PPL)”.

Sebanyak 95 perusahaan termasuk perusahaan yang menjadi sponsor dalam konsorsium, perusahaan patungan, dan kontraktor proyek pembangkit listrik yang mengerjakan sekitar 20.189 MW (58%) dari mega proyek pembangkit listrik 35.000 MW. Sumber data yang diteliti oleh TII adalah dokumen yang diterbitkan oleh perusahaan, seperti laporan tahunan, laporan keuangan, laporan keberlanjutan, dan pedoman tata kelola perusahaan atau pedoman anti korupsi perusahaan.

“Skor TRAC dari PPL adalah 1,9/10. Skor tersebut menandakan perusahaan berisiko tersangkut tindak pidana korupsi karena tidak memiliki program anti korupsi yang memadai. Transparansi struktur grup perusahaan dan pelaporan informasi keuangan antar-negara juga sangat tidak transparan,” ujar Dadang.

Transparansi program anti korupsi PPL hanya memiliki rata-rata skor sebesar 22%. Hanya sebagian kecil perusahaan yang memiliki program anti korupsi yang memadai. Dari 95 perusahaan hanya 20 yang memiliki komitmen anti korupsi, 17 perusahaan yang melarang pemberian donasi politik, 16 perusahaan yang mewajibkan perantara (intermediaries) untuk mematuhi kebijakan anti korupsi perusahaan, dan 11 perusahaan yang mewajibkan rekanan/vendor untuk mematuhi kebijakan anti korupsi perusahaan.

Resiko tersandung tindak pidana korupsi dalam relasi antar pebisnis juga besar karena 51 perusahaan sama sekali tidak memiliki kebijakan anti korupsi perusahaan (larangan suap, gratifikasi, uang pelicin, dan donasi politik).

“Tidak adanya kebijakan anti korupsi perusahaan menyebabkan tidak ada batasan antara tindakan yang

dilarang bagi karyawan/direksi perusahaan dan yang diperbolehkan, termasuk korupsi,” kata Ferdian Yazid, Program Officer Economic Governence Department TII.

Ferdian menjelaskan, analisis terhadap empat perusahaan (Pembangkitan Jawa Bali (PJB), Blackgold Natural Resources (BNR), China Huadian Engineering Company (CHEC), dan PLN Batubara) yang tergabung dalam konsorsium PLTU Riau-1 juga menunjukkan PLN dan anak perusahaannya belum memasukkan kriteria integritas perusahaan sebagai salah satu syarat dalam memilih mitra kerja. PJB memiliki rata-rata skor program anti korupsi sebesar 50%, BNR 4%, CHEC 0%, dan PLN Batubara 27%.

Dalam hal ini PLN seharusnya menginstruksikan anak perusahaannya (PJB dan PLN Batubara) untuk memperkuat program anti korupsi perusahaan, dan apabila PLN melalui uji tuntas (due diligence) anti korupsi terhadap BNR dan CHEC, seharusnya tidak ada kasus tipikor dalam proyek PLTU Riau-1 karena karena kedua perusahaan tersebut telah didiskualifikasi akibat tidak memiliki program anti korupsi yang memadai.

Analisis rata-rata program anti korupsi berdasarkan asal negara perusahaan juga menunjukkan hal yang menarik.

62 perusahaan asal Indonesia yang  dinilai dalam proyek 35.000 MW memiliki rata-rata skor program anti korupsi sebesar 14%, 8 perusahaan asal China sebesar 8%, 7 perusahaan asal Korea Selatan 38%, 6 perusahaan asal Jepang 67%, 3 perusahaan asal Amerika Serikat 50%, 2 perusahaan asal Singapura 33%, dan perusahaan dari negara lain seperti

Finlandia, Swiss, Thailand, Hongkong, Qatar, Spanyol, dan Italia sebesar 41%”,

“Skor rata-rata tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dan PLN seharusnya turut memastikan bahwa perusahaan multinasional yang akan bekerjasama dengan PLN memiliki rekam jejak yang bebas dari korupsi dan memiliki program anti korupsi yang memadai,” kata Ferdian.

Kemudian, Transparansi struktur grup PPL memiliki rata-rata skor 36%. Hanya 43 dari 95 PPL yang menginformasikan daftar anak perusahaannya, dan hanya 31 yang menginformasikan persentase kepemilikan sahamnya di anak perusahaan. Dari 95 PPL hanya 34 yang menginformasikan daftar perusahaan patungan atau perusahaan asosiasi, dan hanya 28 yang menginformasikan persentase kepemilikan saham di perusahaan patungan atau perusahaan asosiasi. Selain itu, rata-rata skor persentase dari laporan keuangan per negara (country by country report) PPL juga sangat rendah karena persentasenya 0%.

“Dari 40 perusahaan multinasional yang TII nilai, tidak ada perusahaan menyusun laporan keuangan dan disajikan secara terpisah di setiap lokasi bisnis perusahaan. Padahal, country by country report sangat krusial untuk mencegah praktik penghindaran pajak,” tandas Ferdian.(RA)