BANJARBARU – Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terhadap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT Mantimin Coal Mining (MCM), dengan memberi putusan menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan PT MCM.

Sebelumnya, pada 28 Februari 2018, Walhi bersama kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Pengabdi Lingkungan Hidup mendaftarkan gugatan terhadap Menteri ESDM Ignatius Jonan, yang telah mengeluarkan SK Menteri ESDM nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Mantimin Coal Mining menjadi Tahap Kegiatan Operasi Produksi, tanggal 4 Desember 2017 di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Tabalong, Kabupaten Balangan dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan, dengan luas 5.908 hektare.

“MA telah memberi kabar baik di tengah bencana ekologis yang terjadi di Kalimantan Selatan melalui putusan PK MA Nomor 15 PK/TUN/LH/2021, tanggal 4 Februari 2021,” ungkap Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Kalsel, dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Minggu (14/2).

Kisworo mengatakan putusan PK MA itu menjadi kabar yang dinantikan rakyat Kalimantan Selatan (Kalsel). Setelah melalui proses yang panjang dan dua kali gagal dalam gugatan awal dan di tingkat banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, akhirnya suara rakyat Kalsel dimenangkan.

“Untuk pihak tergugat yaitu kementerian ESDM dan PT MCM kami mendesak harus menjalankan putusan MA ini,” ujar Kisworo.

Menurut Kisworo, warga telah melakukan perlawanan menolak tambang batu bara ini dengan berbagai cara, dari aksi dan demonstrasi lewat gerakan #SaveMeratus, sampai gugatan ke pengadilan. Akhirnya, MA mengabulkan kasasi Walhi pada 15 Oktober 2019. Sebelumnya, Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta pada 22 Oktober 2018, menolak gugatan Walhi.

Ada empat poin dalam gugatan Walhi ke PTUN, pertama, mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan batal atau tak sah keputusan tata usaha negara berupa SK Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 441.K/30/DJB/2017. Ini soal penyesuain tahap kegiatan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara MCM jadi tahap kegiatan operasi produksi, tertanggal 4 Desember 2017.

Ketiga, mewajibkan tergugat mencabut Keputusan Tata Usaha Negara berupa SK Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral itu. Keempat, menghukum tergugat untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini.

Walhi mengugat surat keputusan ini karena 56% area PKP2B MCM di bentang alam karst yang berfungsi penyalur dan penampungan air pengunungan dalam pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat sekitar.

Tidak hanya itu, juga sungai dan Bendungan Batang Alai di Hulu Sungai Tengah juga dikhawatirkan terdampak karena bersinggungan dengan area operasi produksi perusahaan.

Bahkan, wilayah tersebut juga diklaim tumpang tindih dengan akses kelola masyarakat, yakni, hutan desa di Hulu Sungai Tengah yang secara resmi memiliki SK hak pengelolaan Hutan Desa (HPHD) Nateh No 2326 tertanggal 21 April 2017.

SK ini menetapkan Desa Nateh, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, sebagai hutan desa sekitar 1.507 hektar. Dalam Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) ada lima kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) yaitu, kelompok lebah madu, perkebunan, perikanan, hortikultura dan ekowisata.

“Perjuangan penyelamatan Meratus #SaveMeratus juga sudah lama kami perjuangankan sejak tahun 80 dan 90-an sampai sekarang, baik terkait isu kehutanan, isu pertambangan dan pengakuan Masyarakat Hukum Adat,” tandas Kisworo.(RA)