JAKARTA – Selama empat tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak ada kilang minyak baru terbangun maupun yang direvitalisasi PT Pertamina (Persero). Padahal, kehadiran kilang baru dan peningkatan kapasitas kilang eksisting sangat penting untuk mengurangi impor BBM.

Luhut Binsar Pandjaitan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, mengatakan Presiden Joko Widodo sempat galau karena belum ada kilang yang terbangun atau selesai dikembangkan.

“Pembangunan kilang saya kira penting. Presiden pun galau, karena sudah empat tahun jadi Presiden belum ada kilang yang jadi,” kata Luhut saat menghadiri Pertamina Energy Forum di Jakarta, Kamis (29/11).

Menurut Luhut, pembangunan kilang diharapkan tidak lagi mundur. Pemerintah juga mendorong terbangunnya industri petrokimia untuk mengelola produk turunan yang dihasilkan kilang.

“Saya minta jangan mundur lagi, karena saya sudah tiga tahun dorong petrokimia yang enggak jalan-jalan,” ungkap dia.

Peremajaan dan keberadaan kilang baru tentunya akan mengurangi impor ‎BBM. Hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah untuk dapat meredam defisit transaksi berjalan.

Luhut mengatakan salah satu potensi fasilitas terbaik yang bisa segera direalisasikan adalah  pemanfaatan dan mengintegrasikan kilang TPPI di Tuban.

Pertamina telah menandatangani framework agreement dengan CPC Taiwan untuk mengembangkan komplek industri petrokimia berskala besar dengan nilai investasi US$6,49 miliar atau sekitar Rp97,35 triliun di Indonesia.

Proyek tersebut diharapkan mulai beroperasi pada 2026 dengan skema joint venture antara Pertamina, CPC Taiwan, dan beberapa mitra hilir potensial lainnya.

Pabrik naphtha cracker diharapkan akan memproduksi paling sedikit satu juta ton ethylene per tahun dan membangun unit hilir yang akan memproduksi produk turunan kilang lainya untuk memenuhi kebutuhan industri.

“Sekarang ada masuk dari Taiwan (CPC). Ini bolak balik kayak yoyo saja (tarik ulur pengembangannya),” tegas Luhut.

Peremajaan serta keberadaan kilang baru diharapkan akan dapat mengurangi impor, baik ‎BBM maupun minyak mentah. Hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah yang berujung dapat meredam defisit transaksi berjalan.

“CAD (Curren Account Defisit) kita sangat terpengaruh dengan impor minyak. CAD kita tahun ini akan dekat US$ 24 miliar, dibanding tahun lalu US$ 17 miliar,” tandas Luhut.(RI)