JAKARTA– Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan telah melakukan pertemuan dengan pembangun pengolahan dan pemurnian mineral (smelter). Dari pertemuan tersebut diketahui ada lima persoalan yang dihadapi oleh pembangun smelter, terbanyak adalah soal pendanaan atau pembiayaan pembangunan.

Dari Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM 2020 diketahui bahwa masalah pembiayaan pembangunan menjadi kendala 16 pembangun smelter. Ke-16 perusahaan tersebut antara lain PT Bintang Smelter, PT Kobar Lamandau, PT Smelter Nikel, PT Antam Nittera, PT Mahkota Konaweeha, PT Laman Mining, PT Borneo Alumina, dan PT Dinamika Sejahtera.

Kendala terbesar kedua dialami oleh 13 perusahaan, yaitu terkait perizinan. Laporan Ditjen Minerba menyebutkan, perusahaan pembangun smelter mengalami masalah lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah, Hak Gunan Bangunan, Bentuk Usaha, dan Deep-Sea Mine Tailings Placement (DSTP). Perusahaan yang terkendala antara lain PT Freeport Indonesia, PT Amman Mineral Nusa Tenggara, PT Smelter Nikel, dan PT Borneo Alumina.

Kendala pasokan energi dialami oleh 13 pembangun smelter. Mengutip laporan tahunan Ditjen Minerba 2020, ke-13 perusahaan tersebut terkendala instalasi gardu dan tarif dasar listrik. Perusahaan yang mengalami kendala ini antara lain PT Sulawesi Resources, PT Angfang, PT Aneka Tambang Tbk, PT Antam Nittera, PT Parenggean, dan PT Kapuas Prima Citra.

Untuk pembangun smelter yang membutuhkan skema insentif ada lima perusahaan. Kelima perusahaan tersebut adalah PT Freeport Indonesia, PT Amman Mineral Nusa Tenggara, PT Ceria, PT Arthabumi, dan PT Laman Mining. Mereka meminta skema insentif berupa pajak, bea, dan bea masuk alat.

Adapun lima perusahaan lain juga tercatat ada kendala lainnya, yaitu moratorium Izin Usaha Produksi, kokas, kepastian hukum, dan keamanan operasi. Hal ini terjadi pada PT Freeport Indonesia, PT Gulf Mangan, PT Smelter Nikel, PT Artha Mining, dan PT Laman Mining.

Kementerian ESDM mengakui bahwa pembangunan fasilitas pemurnian juga terkendala akibat kondisi pandemi COVID-19, antara lain tertundanya pengiriman peralatan maupun kedatangan tenaga ahli dari luar dan penerapan PSBB di Indonesia yang menghambat mobilisasi tenaga kerja dan logistik. Selain itu, investor juga cenderung menanti (wait and see) sehingga kemungkinan berdampak pada tertundanya kesepakatan kerjasama pendanaan. (DR)