DERU mesin pompa terdengar kencang saat saya tiba di depan koperasi Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Saluyu. Perlu beberapa menit bagi pak Aep untuk menyelesaikan perbaikan pompa itu bersama rekan-rekan petani lainnya sebelum menghampiri saya di dalam koperasi.

Menurut pak Aep, pompa air harus dalam keadaan prima di musim kemarau.

Pria yang bernama lengkap Endang Sudrajat menceritakan tanah di wilayah Cilamaya, Karawang, Jawa Barat harus terus disuplai air agar kondisinya tidak bertambah parah. Apalagi jika tanah di sana sebagian besar dirasa sudah menurun kesuburannya. Tingkat kesuburan tanahnya dirasakan terus mengalami penurunan setiap tahun.

“Waktu itu pernah uji coba PH tanah di sekitar sini cuma 4. Padahal normalnya PH bernilai 6-7,” kata Pak Aep saat ditemui Dunia Energi di Desa Cilamaya, belum lama ini.

Upaya peningkatan PH melalui penggunaan pupuk kimia atau anorganik seperti Urea memang jadi salah satu jalan bagi petani agar unsur tanah meningkat dan tanah kembali menjadi subur. Akan tetapi yang harus diingat, peningkatan PH secara terus menerus juga tidak bagus untuk kesuburan tanah. Nilai PH yang berlebihan atau basa juga memiliki dampak buruk bagi kelangsungan pertumbuhan tanaman. Hal itu dirasakan para petani yang tergabung dalam Gapoktan Saluyu di Desa Cilamaya.

Gapoktan Saluyu terdiri dari delapan kelompok tani dengan total jumlah anggota mencapai 374 anggota. Setiap kelompok beranggotakan bervariasi antara 27 sampai 40an anggota. Delapan kelompok diantaranya Rahayu, Sugih, Jembar, Sri Rejeki, Unggul, Muncul, Sri Asih dan kelompok tani Bahagia.

Meskipun sadar adanya penurunan kondisi kesuburan tanah, penggunaan pupuk anorganik tidak terbendung lantaran para petani tidak tahu harus berbuat apa demi meningkatkan kesuburan tanah. Informasi mengenai metode tanam dengan menggunakan pupuk organik masih minim, terbatasnya pengetahuan tanam organik ketika dipaksakan juga membuat modal jadi bengkak terutama untuk membeli pupuk organik. Harus diakui untuk merintis metode tanam organik dibutuhkan dana yang tidak sedikit.

Harapan hadir ketika PT Pertamina Gas (Pertagas), anak usaha PT Pertamina (Persero) di bisnis transmisi dan distribusi gas pipa mulai ikut campur. Keterlibatan Pertagas tidak menyediakan modal berupa uang semata tapi dengan membawa ilmu serta pengalaman tanam organik.

Abdul Ghaffar, pimpinan pondok pesantren Darussalam Mandiri di Cilamaya jadi role model metode tanam organik yang diperkenalkan Pertagas ke para petani. Ia merintis metode tanam organik secara mandiri dengan manfaatkan bahan baku pupuk kandang yang berasal dari sisa kotoran hewan ternak di lingkungan sekitar desa Cilamaya.

Penggunaan organik sendiri bermula saat Ghaffar kesulitan mendapatkan pupuk urea di sekitar 2015. Sudah langka, harganya juga tidak murah. Kondisi itu membuat dia memutar ide untuk berinisiatif gunakan pupuk kandang hasil olahan sendiri.

Ghaffar kemudian mengumpulkan kotoran sisa ternak kambing yang dimilikinya. Selain itu ia dan 15 santrinya berkeliling sekitar desa untuk menawarkan jasa membersihkan kotoran ternak mereka. Kalau kata pepatah sekali dayung dua tiga pulau terlewati. Sekali berbuat selain membantu warga menjaga kebersihan lingkungan, mendapatkan pahala, Ghaffar dan para santri juga mendapatkan bahan pembuatan pupuk secara gratis.

“Jadi kami keliling deh hampir setiap sore menawarkan jasa bersih-bersih kotoran kambing kerbau,” kata Ghaffar.

Setelah kotoran yang didapatkan difermentasi dengan cara disimpan dalam wadah ditutup rapat paling cepat selama kurang lebih empat hari. Setelah itu baru jadilah pupuk kandang untuk kemudian digunakan. Satu ton pupuk digunakan untuk satu hektar lahan. Pupuk sendiri mulai dicampur pada pembajakan kedua, baru setelah itu dilakukan penanaman bibit padi. Setelah bibit berumur kira-kira 10 hari baru dicampurkan dengan pupuk cair organik.

Untuk perawatan, Ghaffar menerapkan metode jauh berbeda dengan dengan metode petani kebanyakan. Misalnya dalam pengendalian hama. Jika para petani lain begitu bergantung dengan berbagai cairan insektisida maupun cairan anti hama lainnya, Ghaffar lebih percaya dengan penanganan secara alami.

Koperasi yang didukung Pertagas menyediakan berbagai kebutuhan tanam padi di desa CIlamaya. (Foto/Dunia Energi/Dinul Mubarok). 

Ketika hama tikus mulai menyerang, pak ustaz tidak banyak berbuat pencegahan alhasil beberapa petak sawahnya diserang tikus. Ia dan santrinya justru membersihkan sisa serangan tikus. “Kami rapihin saja bekasnya. Sifat tikus itu senang yang kotor berantakan, setelah itu diberesin rapih tikus-tikus enggak ada lagi tuh, alhamdulilah,” cerita Ghaffar sambil tersenyum.

Pertagas melihat adanya potensi tanam organik direplikasi oleh masyarakat luas. Namun terlebih dulu dilakukan pilot project selama dua tahun di sawah pesantren Darussalam Mandiri. Baru pada awal 2019 Gapoktan Saluyu digandeng untuk terapkan tanam organik secara lebih luas.

Kini sekitar tiga hektar sawah, termasuk 1,5 hektar yang digarap langsung oleh Pak Aep mulai ditanami padi dengan menggunakan metode tanam organik termasuk penggunaan pupuk. “Bisa kurangi penggunaan pupuk anorganik bisa sampai 50%,” kata Pak Aep.

Tidak hanya demi tingkat kesuburan, penggunaan pupuk organik juga cukup memberikan dampak terhadap keberadaan hama yang biasa menganggu tanaman padi.

Bahrun, salah satu petani yang juga anggota kelompok Gapoktan Saluyu yang sudah hidup sebagai petani sekitar 20 tahun menjelaskan penggunaan urea baginya sudah lumrah, akan tetapi disaat yang sama ternyata keberadaan hama makin banyak. Otomatis penggunaan obat yang biasa digunakan untuk membasmi hama juga ditambah, ujungnya biaya tanam menjadi membengkak. Penggunaan obat terlalu banyak tentu akan langsung berdampak pada padi dan beras yang dihasilkan

“Kalau dikasih obat tumbuh lagi, obatnya mahal tapi kalau tidak dibeil merusak tanaman, efek samping juga ke tanaman,” ungkap Burhan.

Namun ada hal baru saat menggunakan pupuk organik dimana keberadaan hama tidak sebanyak saat menggunakan pupul anorganik. Beberapa hama yang biasa menjadi musuh para petani biasanya Ulat, Sundep, Wereng kini mulai berkurang keberadannya. “Memang banyak sih biasanya, tapi pas pakai organik ini memang jumlahnya berkurang,” tambahnya.

Padi Sehat

Pak Aep sudah hafal betul karakteristik perbedaan pada padi yang menggunakan organik dan anorganik. Jika dicermati kondisi padi yang menggunakan organik jauh lebih sehat dan tidak mudah terkena serangan hama. “Ibaratnya lebih prima kondisinya,” kata dia.

Salah satu ciri padi sehat menurut dia bahkan bisa dilihat secara kasat mata yakni batangnya yang kuat. Pada musim kemarau seperti ini biasanya hama sudah mulai menyerang yang menyerang bagian dalam batang sehingga ujung batang padi membusuk kemudian menyebabkan padi mati. Selain itu warna padinya juga berbeda, jika menggunakan anorganik warna padinya hijau pekat sementara padi organik warna padi hijau kekuningan

“Jadi kalau ada hamanya itu biasanya sundep itu jadi hitam-hitam ujung batang itu mati, padi ga ada isinya. Nah kalau yang sekarang pakai organik padinya masih pada bagus, batangnya kuat-kuat dan ga ada sundep, biasanya umur segini udah ada,” cerita Pak Aep.

Vany Ardianto Community Development Officer Pertagas Western Java Area menjelaskan kerja sama dengan para petani di Cilamaya bermula saat perusahaan melalui pemetaan sosial menemukan fakta menarik tentang kondisi para petani. Meskipun Karawang dikenal sebagai lumbung padi nasional akan tetapi ternyata 80% petaninya tidak memiliki sawah sendiri alias hanya bekerja sebagai buruh tani. Kondisi ini tentu berdampak terhadap rendahnya pendapatan masyarakat karena harus dipotong berbagai pos pembiayaan. Apalagi upah yang diterima menggunakan sistem bagi hasil antara pemilik lahan dan penggarap.

Fakta lainnya, penggunaan pupuk kimia sintetis berlebihanyng  merusak dan mengganggu keseimbangan tanah, membunuh organisme dan mikroorganisme, menghambat pembusukan bahan organik, menghambat penyerapan zat hara oleh akar dan mempengaruhi hasil panen. rerata setiap tahun terjadi penurunan produk pertanian 0-3 ton per hektare.

“Dari fakta-fakta tersebut, maka dibuatkan program Priangan yakni Pertanian ramah lingkungan atau pengembangan teknologi pertanian organik,” kata Vany.

Leci Tegar (learning center integrated farming) adalah program di bidang pemberdayaan masyarakat yang beroroentasi sebagai pusat pembelajaran dalam upaya pengembangan teknologi pertanian dan praktek Integrated Farming system. Salah satu hasil dari program Leci Tegar adalah pertanian organik

Dimulai pada 2016 dengan melakukan pemetaan sosial, sosialisasi  lahan sempit produktif dan menginisiasi pesantren Darussalam sebagai mitra binaan.  Di 2018, melakukan pengembangan sarana dan prasarana kegiatan belajar, pelatihan sistem pertanian organik dan pendampingan pengelolaan sistem pertanian organik. Selain Abdul Ghaffar dan pesantren yang dipimpinnya, Pertagas juga menggandeng Klinik Pertanian Organik – Kembang Langit untuk mengawal program ini.

Pertagas tidak meninggalkan begitu saja para petani setelah masa panen karena program berkelanjutan sudah disiapkan. Setelah panen masyarakat sekitar sawah  sering alami kesulitan apabila masuk masa paceklik. Ini adalah buntut dari manajemen buruk hasil panen. Untuk itu Pertagas juga memperkenalkan program Beras Mandiri.

Vany menjelaskan, dalam simulasi pelaksanaan program apabila dihasilkan padi dari 7 hektar, para petani akan diminta untuk menyumbangkan 1 kwintal untuk disimpan di koperasi. “Terserah mereka mau berapa aja, tapi kalau bisa 1 kwintal lebih baik. Itu semua sudah disetujui semua pihak termasuk petani yang tergolong pemilik lahan,” jelas Vany.

Padi yang sudah diserahkan ke koperasi Gapoktan itu kemudian akan digiling sendiri oleh kelompok dan baru akan dijual saat masa pacekllik tiba nanti.

Prinsip kemandirian memang dijaga betul sehingga tidak ada ketergantungan yang kerap menjadi masalah baru dalam setiap program Corporate Social Responsibilty (CSR) sebuah perusahaan. Manajemen Pertagas tentu tidak ingin masyarakat yang sebelumnya mitra usaha justru menjadi benalu dalam kegiatan operasional perusahaan.

Dalam roadmap yang telah disusun Leci Tegar memiliki umur maksimal lima tahun, itu artinya Gapoktan Saluyu diharapkan sudah mandiri sepenuhnya dalam waktu satu hingga dua tahun kedepan. Sampai saat ini selain memberikan bantuan berupa pupuk organik juga pendampingan dari para ahli di Kembang Langit. “Jadi ada pelatihan termasuk ada materi pencegahan hama dan lain sebagainya,” kata Vany.

Ketahanan Ekonomi

Tujuan akhir dari program Leci Tegar yakni pertanian organik dan sistem beras mandiri ini memang untuk mewujudkan ketahanan ekonomi petani. Apalagi beras organik memiliki nilai ekonomi jauh lebih tinggi ketimbang beras yang ditanam dengan gunakan pupuk anorganik.

Bahrun dan Pak Aep kompak mengamini proses memang tidak pernah mengkhianati hasil. Meskipun membutuhkan waktu serta usaha lebih ekstra dalam bercocok tanam secara organik tapi hasilnya sepadan. Harga beras organik di pasaran jauh lebih tinggi ketimbang beras konvensional atau yang menggunakan pupuk anorganik.

“Kalau yang biasa paling Rp 12.000 per Kg. Nah kalau organik itu ada yang mulai Rp 25.000 atau ada juga sampai Rp 40.000 Kg itu masih banyak yang mau,” ujar kedua petani kompak.

Sistem tanam organik di desa Cilamaya diyakini akan berjalan sukses, akan tetapi harus ada keberlanjutan. Menurut Ali Hamidi, Sekretaris Desa Cilamaya karakteristik masyarakat desa Cilamaya sebenarnya sangat mudah mengikuti arus. Sehingga apabila ada suatu inovasi baru yang memberikan manfaat maka masyarakat akan dengan sukarela beralih dari kebiasaan.

Masa waktu penampingan menurutnya paling cepat adalah dua tahun atau setelah melalui beberapa kali masa tanam sehingga manfaatn yang didapatkan benar-benar terasa.

“Kalau di masyarakat Cilamaya kalau ada contoh bagus dan stabil mereka akan pndah tapi kalau hanya sebatas gebyarnya aja itu bakal balik kanan semua,” kata Ali.(Rio Indrawan)