JAKARTA – Pemerintah diminta untuk memfokuskan produk pertambangan bijih nikel dan bauksit untuk kepentingan keamanan dan ketahanan nasional. Saat ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih mengkaji pertimbangan pemberian kelonggaran ekspor (relaksasi ekspor).

“Saya meragukan klaim mengontrol 60% dunia karena bauksit dan nikel kita tidak banyak. Timah saja yang kita  supply sekitar 15% dunia yang seharusnya bisa mengatur harga tidak bisa berbuat apa-apa.  Penguasaan dan kontrol dunia tidak semata-mata menguasai sumber dayanya,” kata Budi Santoso, Direktur Ekskutif Center for Indonesia Resources Studies (CIRUSS), kepada Dunia Energi, Kamis (13/10).

Smelter pengolahan nikel, salah satu pengguna listrik dari segmen industri skala besar.

Luhut Binsar Panjaitan, Pelaksana Tugas Menteri ESDM, mengatakan pemerintah dipastikan tidak akan memberikan relaksasi ekspor bijih nikel dan bauksit. Lantaran, saat ini Indonesia merupakan negara eksportir nikel dan bauksit terbesar di dunia.

“Kita mengontrol nikel itu sampai hampir lebih 50% dunia. Sekarang ini China hampir 60% atau 40% gitu saya lupa angkanya, itu mengimpor dari kita. Nah sekarang mereka sudah buka disini sampai industri stainless steel-nya,” kata dia.

Menurut Luhut, Indonesia dan Filipina mengontrol lebih 60% nikel dunia. Untuk itu, ekspor bijih nikel tidak lagi diperlukan karena sudah bisa diolah di dalam negeri kita.

“Jadi ini hampir ya, belum diputuskan, hampir pasti kita tidak akan memberikan relaksasi untuk nikel dan bauksit. Hampir pasti, saya pingin ada studi lagi,” tandas Luhut.(RA)