JAKARTA – Pemberlakuan Paris Agreement pada 2016 menantang seluruh dunia untuk dapat membatasi kenaikan temperatur global di bawah 2°C dan menuju emisi netto yang nol (net-zero emission) sebelum pertengahan abad ini. International Energy Agency (IEA) memperkirakan untuk dapat mencapai target 2°C maka sebanyak 1.520 gigawatt (GW) kapasitas pembangkit berbasis fosil di seluruh dunia, 1.285 GW adalah PLTU batu bara harus ditutup sebelum 2040.

“Adapun untuk target dibawah 2°C, maka 1.715 GW kapasitas pembangkit, dimana sebanyak 1.330 GW berasal dari PLTU batu bara. Jumlah tersebut setara dengan kapasitas PLTU di China, US, Jepang. Jerman, dan Polandia,” ujar Faby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jakarta, Senin (1/4)

Indonesia juga merupakan salah satu negara pendukung Paris Agreement dan telah meratifikasi melalui UU Nomor 16 Tahun 2016 dan telah menetapkan Nationally Determined Contribution (NDC) yang menetapkan sasaran penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dengan usaha sendiri, dan tambahan 12% dengan dukungan intrnasional, sehingga menjadi 41% pada 2030.

Dengan ratifikasi tersebut Indonesia harus ikut serta dalam upaya global mengurangi laju emisi GRK, khususnya dari sektor energi.

“Komitmen dan tindakan konkrit yang dilakukan Indonesia akan dimonitor, dinilai, dipantau oleh masyarakat internasional, sesuai dengan kerangka kerja Paris Agreement,” kata Faby.

Dengan mempertimbangkan dinamika energi global, IESR mendesak pemerintah untuk melakukan kajian mengenai transisi energi dan masa depan industri batu bara serta menyiapkan langkah-langkah transisi ekonomi, khususnya diversifikasi ekonomi dan pengembangan industri di daerah penghasil utama batu bara, membangun industri energi terbarukan pada skala nasional, serta mempersiapkan skenario transisi energi di sektor kelistrikan, untuk menghasilkan sebuah proses transisi yang berkeadilan.

“Tekanan internasional dalam hal perubahan iklim dan daya saing teknologi energi terbarukan dapat membuat kekayaan batu bara nasional dapat menjadi kutukan sumber daya (resource curse) di masa depan,” tandas Faby.(RA)