“Saya ingin menjadikan Pertamina the best company in the region dan mengalahkan Petronas. Dulu Petronas belajar dari Pertamina, tapi sekarang kita jauh tertinggal. Saya yakin kita bisa. Mungkin empat lima tahun lagi kita akan lebih unggul. Yang penting, kasih saya waktu! (Kasali, 2008: 115).

Itulah tekad yang diucapkan Widya Purnama setelah dilantik jadi Direktur Utama PT Pertamina (Persero), 11 Agustus 2004. Bisa jadi, harapan itu muncul setelah Widya membaca berita di berbagai media massa sebelum direksi baru Pertamina diangkat. Berita itu mengulas kinerja Pertamina pada 2003 yang lebih buruk dibandingkan Petroliam Nasional Berhad atau Petronas dan PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), perusahaan energi terintegrasi yang didirikan oleh Arifin Panigoro.

Widya pantas gundah.  Merujuk pada performa keuangan Petronas dan Medco, kinerja keuangan Pertamina pada 2003 memang kurang elok. Penghasilan sebelum biaya bunga, pajak dan depresiasi (EBITDA) perusahaan tercatat hanya 6,38%. Bandingkan dengan Petronas yang mencapai 44,16% dan Medco yang mencapai 47,20%. Net profit margin juga cuma 1,90%. Bandingkan dengan Petronas 18,55% dan Medco 11,53%. Adapun biaya operasi terhadap pendapatan dari operasi usaha (BOPO) tercatat cukup tinggi, yaitu 93,62%. Sedangkan Petronas hanya 55,83% dan Medco 52,8% (Kasali, 2008: 116).

Toh, hingga Widya, yang mantan Direktur Utama PT Indosat Tbk (ISAT),  mengakhiri masa tugasnya sebagai dirut Pertamina pada Maret 2006, peforma keuangan Pertamina tak terbilang jelek. Pada 2004 misalnya, badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi tersebut membukukan pendapatan Rp223,92 triliun, lalu naik jadi Rp315,96 triliun pada 2005 dan 2006 menjadi Rp355,58 triliun. Laba bersih yang dibukukan pada 2004 sebesar Rp8,15 triliun, turun ke level Rp7,8 triliun pada 2005 namun meroket ke level Rp21,16 triliun pada 2006.

Pada 8 Maret 2006, Widya digantikan oleh Arie H Soemarno yang sebelumnya menjabat direktur pemasaran. Kakak Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini M Soemarno ini memimpin Pertamina hingga Februari 2009. Arie bolehlah mengklaim bahwa selama sembilan bulan 2006 berkontribusi besar memimpin Pertamina hingga mencapai laba bersih Rp21,16 triliun.

Pada 2007, Pertamina membukukan pendapatan Rp379,4 triliun, lebih tinggi dari capaian 2006 yang tercatat Rp355,58 triliun. Sayang, laba bersih turun ke level Rp17,2 triliun. Pada 2008, pendapatan naik tajam ke level Rp558 triliun dan laba bersih Rp19,7 triliun. Namun pada 2009, kinerja keuangan Pertamina turun. Pendapatan terjun bebas menjadi Rp378 triliun dan laba bersh berkurang menjadi hanya Rp15,79 triliun. Tanggungjawab kinerja operasi-produksi dan keuangan Pertamina pada 2009 memang sudah dialihkan ke Galaila Karen Kardinah Agustiawan. Per 5 Februari 2009, Karen, yang sebelumnya adalah Direktur Hulu, didapuk menjadi orang nomor satu di Pertamina.

 

Aktivitas eksplorasi migas di daratan (onshore) Pertamina (foto: dokumentasi Dunia-Energi)

Di era pasca reformasi, Karen paling lama menjabat dirut Pertamina hingga berakhir 1 Oktober 2014. Kita lihat bagaimana kinerja keuangan Pertamina semasa Karen!

Pada 2010, Pertamina kembali dapat meningkatkan pendapatan menjadi Rp432 triliun dan net profit naik sedikit menjadi Rp16,7 triliun. Setahun berikutnya, pendapatan juga meroket lagi menjadi Rp589 triliun, laba bersih juga melonjak jadi Rp21,25 triliun. Pendapatan Pertamina terus meroket pada 2012, yaitu sebesar US$70,92 miliar dan net profit menjadi US$2,75 miliar.

Pada 2013, pendapatan usaha naik lagi menjadi US$71,17 miliar, laba bersih juga naik ke level US$2,84 miliar. Namun, di pengujung masa kepemimpinan Karen, yaitu pada 2014, kinerja keuangan Pertamina kembali merosot. Pendapatan perusahaan US$69,99 miliar dan laba bersih menjadi hanya US$1,416 miliar.

Era baru muncul saat Joko Widodo jadi Presiden. Pada awal Desember 2014, Jokowi menunjuk Dwi Sutjipto sebagai direktur utama Pertamina menggantikan Karen. Dari sisi kinerja pendapatan, sejatinya Dwi tak lebih baik dari era Karen. Pada 2015, misalnya pendapatan hanya US$41,76 miliar dan laba bersih US$1,144 miliar. Baru setahun kemudian, kinerja cemerlang ditunjukkan dari profitabilitas. Kendati pendapatan hanya US$36,48 miliar, Pertamina mencatatkan rekor terbesar dalam laba bersih, yaitu mencapai US$3,099 miliar atau setara Rp42,3 triliun pada 2016. Meski pendapatan turun dibanding tahun sebelumnya, lonjakan laba bersih perusahaan BUMN ini ditopang langkah efisiensi pengolahan minyak dan penjualan Pertalite. Pencapaian laba bersih sebesar US$3,14 miliar tersebut lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan dengan realisasi tahun 2015 yang sebesar US$1,42 miliar. Bahkan, jumlah tersebut merupakan rekor tertinggi sejak Pertamina berdiri.

Pencapaian ini merupakan tonggak sejarah (milestone) bagi perusahaan. Maklum, perusahaan tetap mampu meningkatkan laba meskipun harga minyak dunia pada 2016 belum membaik. Salah satu faktor pendukung pencapaian rekor laba 2016 adalah upaya efisiensi yang dilakukan perusahaan. Nilai efisiensi Pertamina saat itu mencapai US$ 2,67 miliar. Ada beberapa upaya efisiensi dan ekspansi bisnis perusahaan yang membuahkan hasil, antara ain negosiasi kontrak eksisting, optimalisasi inventori maupun sentralisasi material.

Berbagai upaya efisiensi dan ekspansi bisnis itu juga diakumulasikan dengan kinerja Pertamina di sektor hulu migas pada tahun tersebut. Saat itu, Pertamina berhasil membukukan produksi minyak mentah sebesar 278 juta barel minyak per hari (mbopd), meningkat 12,3% dari 2015 yang hanya 312 mbopd. Sedangkan produksi gas sebesar 1.961 mmscfd, meningkat 3,1% dari 2015 yang sebanyak 1.902 mmscfd.

Profitabilitas Pertamina nan moncer pada 2016 itu tak mampu dipertahankan setahun berikutnya. “Rebutan” kepentingan di internal jajaran direksi memaksa pemegang saham (pemerintah) merombak jajaran direksi. Dwi Sutjipto pun digusur dan digantikan oleh Ellia Massa Manik. Toh, di bawah Ellia Massa pun kinerja keuangan Pertamina tak kunjung membaik. Pendapatan pada 2017 tercatat US$42,86 miliar namun laba bersih terjun ke level US$2,41 miliar.

Baru, di era Nicke Widyawati jadi dirut—-ditetapkan secara resmi pada Agustus 2018 setelah lebih dari tiga bulan jadi pelaksana tugas dirut menggantikan Ellia Massa—kinerja keuangan Pertamina diklaim meroket. Kendati belum merilis laporan keuangan, Nickie mengklaim bahwa sepanjang 2018 pendapatan perusahaan naik dari US$42,5 miliar pada 2017 menjadi US$56 miliar pada 2018.

“Laba 2018 juga di atas US$2 miliar. Kalau ada yang mengatakan Pertamina rugi, itu bohong besar. Jadi dari sisi pendapatan, aset, semua meningkat,” kata Nicke di sela BUMN Goes to Campus di Universitas Riau, Pekanbaru, Riau, Selasa (19/3).

 

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina. Mantan direktur PT PLN (Persero) itu dilantik jadi dirut Pertamina menggantikan Ellia Massa Manik pada Agustus 2018. (foto: dokumentasi Dunia Energi)

Bila betul ucapan Nicke, realisasi pendapatan Pertamina pada 2018 tercatat tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Sayang, peningkatan laba tersebut tidak diikuti dengan peningkatan laba bersih. Laba bersih tahun lalu merupakan yang terendah sejak 2016. Pada 2016, Pertamina meraih pendapatan US$39,81 miliar dan laba bersih US$3,15 miliar. Setahun kemudian, pendapatan naik menjadi US$46 miliar, namun laba bersih turun menjadi US$2,41 miliar. Tahun ini, Pertamina mematok pendapatan sebesar US$58,85 miliar.

Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Pertambangan Industri Strategis dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mengatakan penurunan laba bersih Pertamina pada 2018 karena dua faktor: kondisi harga minyak dunia yang lebih rendah dibanding 2017 dan beban yang timbul dari kebijakan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium yang tidak berubah.

Fajriyah Usman, Vice President Corporate Communication Pertamina, mengatakan butuh waktu unuk merilis laporan keuangan Pertamina. Saat ini laporan tersebut masih dalam tahap finalisasi.”Belum (laporan keuangan), sedang finalisasi dan sebagainya,” ujarnya saat dikonfirmasi Dunia Energi.

 

Tertinggal dari Tetangga

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengungkapkan dibandingkan dengan perusahaan di negara tetangga yang selama ini disandingkan dengan Pertamina seperti Petronas dari Malaysia dan PTT Thailand dari Thailand, kinerja keungan Pertamina saat ini tertinggal.

“Secara revenue mungkin kompetitif, tapi secara laba tertinggal cukup jauh. Penyebabnya antara lain kebijakan di sektor hilir terutama terkait harga BBM yang tidak klir,” kata Komaidi kepada Dunia Energi.

Petronas sudah mmpublikasikan kinerja keuangannya pada awal Maret 2019. Berdasarkan laporan yang dirilis manajemen Petronas, sepanjang 2018 perusahaan mencatatkan laba bersih US$13,5 miliar atau setara dengan Rp191,7 triliun, naik dibandingkan raihan laba 2017 yang tercatat US$11,37 miliar atau Rp161,45 triliun. Padahal revenue “hanya” US$62,75 miliar atau Rp891,05 triliun.

Adapun PTT Thailand, pada 2018 membukuka laba bersih US$3,77 miliar atau Rp53,5 triliun, turun dari 2017 sebesar US$4,25 miliar atau Rp 60,47 triliun. Sementara pendapatan US$73,7 miliar atau setara Rp1.036,6 triliun, naik dari tahun sebelumnya US$63 miliar atau Rp894,6 triliun. Toh, penurunan laba bersih PTT pun masih tak bisa diimbangi oleh Pertamina.

Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, mengakui ketidakberdayaan Pertamina menyaingi perusahaan negara tetangga dari sisi kinerja keuangan. Untuk mencapai laba bersih sebesar Rp20 triliun saja sudah cukup berat bagi Pertamina.

Menurut Mamit, ada kondisi berbeda dalam pengelolaan perusahaan di Pertamina dan Petronas serta PTT, terkait penugasan distribusi BBM dan LPG 3 kg. Pertamina dibebani sebagai fungsi Public Service Obligation (PSO) sehingga keuangan perusahaan terganggu. “Subsidi LPG 3 kg, BBM Satu Harga, Premium, jelas ini sangat memengaruhi keuangan mereka,” katanya.

Di sisi lain, Petronas dan PTT Thailand mendapatkan keistimewaan (privilese) dari negaranya. Manajemen kedua badan usaha milik negara tersebut mendapatkan otoritas tinggi untuk ekspansi bisnis ke luar negeri tanpa perlu takut dikriminalisasi oleh penegak hukum di luar negeri.

Contohnya PTT Thailand. Sebelumnya, perusahaan asal Negeri Gajah Putih itu fokus pada industri migas, kini merambah segala lini bisnis. Petrokimia dan pertambangan batubara pun ikut dirambah. Bahkan, untuk petrokimia dan batu bara, mereka sudah ekspansi ke sejumlah negara, antara lain di Indonesia. Hal serupa, sebelumnya juga sudah dilakukan oleh Petronas. Tak heran bila kinerja Petronas sejak beberapa tahun terakhir tak bisa disaingi oleh Pertamina.

Baihaki Hakim, mantan direktur utama Pertamina (Februari 2000-September 2003), juga “risih” atas keberhasilan Petronas menyalip Pertamina. Petronas yang dulunya “belajar” dari Pertamina sekarang lebih maju dan unggul dari Pertamina.

Dalam buku The Longe Ranger; Lekak-liku Transformasi Pertamina (2009), Baihaki menyatakan, secara kasat mata memang Petronas lebih unggul. Landmark atau ikon dari Kuala Lumpur adalah Petronas Twin Towers, gedung pencakar langit tertinggi di Asia Tenggara. Karya monumental ini merupakan simbol keberhasilan Malaysa sebagai satu macan ekonomi Asia era pra-kiris moneter 1997. “Coba bandingkan dengan Kantor Pusat Pertamina yang terletak di kawasan Monas Jakarta yang sudah renta dan sempat terbakar pada awal 2007. Jelas di mata orang awam Petronas lebih gemerlap dan kinclong dibanding Pertamina,” tulis Baihaki.

Sederetan prestasi Petronas di bidang perkapalan, serta keberhasilan yang diraih dari kegiatan di manca negara, dan LNG telah memosisikannya sebagai kekuatan baru yang diperhitungkan di arena bisnis perminyakan internasional. Di bidang perkapalan, perusahaan MISC, anak usaha Petronas, adalah salah satu perusahaan perkapalan internsional yang ditangani. MISC adalah pemilik armada kapal salah satu terbesar di dunia dengan 27 LNG Carriers (saat itu). Bagaimana dengan Indonesia/Pertamina yang notabene salah satu produsen LNG dunia terbesar di dunia?

Sejak 1990, melalui anak usaha Petronas Carigali, Petronas sudah ekspansi dengan melakukan eksplorasi dan produksi di mancanegara dan membuahkan hasil yang mengesankan. Dari benua Afrika seperti Sudan dan Chad, Petronas bersama mitranya teah membukukan produksi minyak mentah yang signifikan. Sementara Pertamina baru memulai merintis usaha di mancanegara pada 2002 di Vietnam. “Artinya, Pertamina terlambat 10 tahun dalam memperluas usaha di luar negeri jika dibandingkan dengan Petronas. Jadi cukup beralasan jika masyarakat meniai Petronas lebih maju dan unggul dari Pertamina. Ibaratnya, mobil Petronas telah mampu menyalib Pertamina di tikungan bisnis migas,” tulis Baihaki lagi.

Menurut Baihaki, kemonceran Petronas saat ini harus dirunut dalam proses sejarah. Pada saat krisis minyak 1973, Malaysia kudu belajar dari Indonesia bahwa pengelolaan migas yang sebelumnya didominasi perusahaan asing dalam bentuk konsesi dengan nilai royalti dan pajak rendah perlu diganti dengan pola kontrak bagi hasil yang lebih memberikan nilai tambah bagi Malaysia. Maka, pada 1974 lahirlah Petroleum Development Act (PDA). Beleid ini mirip dengan UU Pertamina 1971, yaitu pengelolaan sumber daya migas harus dilaksanakan sesuai kebutuhan dan aspirasi negara. Pasal 2 dari PDA menyatakan bahwa Petronas sebagai perusahaan negara punya hak kepemilikan dan otoritas daam pengelolaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di Malaysia.

Misi perusahaan dijabarkan dalam pencapaian empat tujuan terkait kepentingan nasional Malaysia. Pertama, menjamin keandalan sumber pasokan energi dalam menunjang pengembangan industri nasional. Kedua, sebagai sumber penerimaan negara dalam bentuk penerimaan pajak dan hasil ekspor migas. Ketiga, berperan dalam penyediaan energi dengan harga rendah melalui mekanisme pengaturan harga dengan konsep plafon harga (price ceilings) atau automatic pricing mechanism. Artinya, harga BBM masih diatur pemerintah Malaysia dan tidak diserahkan kepada mekanisme pasar. Perusahaan asing seperti Shell dan Exxon tetap melakukan kegiatan pemasaran BBM (sama seperti di Indonesia saat ini). Keempat, meningkatkan peran tenaga kerja nasional di perusahaan mitra kontrak bagi hasil.

Misi pertama dan kedua Petronas, mirip dengan misi Pertamina. Namun, terkait pemasaran BBM, pemerintah Malaysia tidak membebani Petronas dengan misi khusus sehingga perusahaan ini memiliki ruang gerak yang lebih besar untuk mengembangkan kegiatan bisnis tanpa terganggu oleh PSO yang bersifat nirlaba. “Hampir 80% sumber daya Pertamina terpaut dengan peran PSO yang secara berkelakar di lingkungan Pertamina disebut sebagai ‘kerja bakti’,” tulis Baihaki,

Di luar itu, proses pembelajaran SDM Petronas juga dilakukan secara fast track dan ini memungkinkan karena penguasaan Bahasa Inggris di Malaysia cukup merata di kalangan pelajar dan mahasiswa. Dalam tempo relatif singkat Petronas yang pada awalnya merupakan entitas yang berfungsi sebagai tax collector secara bertahap telah mentransformasikan dirinya sebagai perusahaan migas yang terintegrasi dari hulu ke hilir dengan ciri dan perilaku perusahaan multinasional, yaitu sebagai operator dan investor yang andal. Petronas dengan pesat telah tumbuh menjadi NOC yang telah mendunia, sementara Pertamina masih terpaku sebagai pemain domestik.

Sampai kapan kinerja keuangan Pertamina masih di bawah bayang-bayang Petronas dan PTT? Perlu kemauan dan dukungan politik agar Pertamina makin mendunia! (RI/DR)