JAKARTA – Menjamin kepastian harga dalam Power Purchase Agreement (PPA) untuk pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai belum cukup untuk menarik minat investor. Perlu juga ada dukungan skema pendanaan yang lebih sesuai untuk bisnis EBT.

Hindun Malaika, Juru Kampanye EBT Greenpeace, mengatakan apabila terjadi perubahan tarif yang cukup signifikan, maka hal ini dapat mempengaruhi keputusan investasi EBT.

“Investor memerlukan waktu cukup panjang dari masa persiapan usaha sampai mendapatkan PPA,” ujar Hindun di Jakarta, Rabu (13/2).

Dia menambahkan, pengembangan EBT juga dipengaruhi investasi untuk jaringan interkoneksi, dimana wilayah yang membutuhkan listrik umumnya adalah daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Sedangkan potensi EBT umumnya terdapat pada daerah remote atau jarang penduduk, terutama karena kebutuhan luas lahan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB). Pembangkitan listrik berbasis panas bumi (PLTP) juga umumnya berada di daerah perbukitan dan pegunungan, yang jauh dari pusat-pusat permintaan.

Dalam hal skema pendanaan EBT, masih terdapat pemahaman yang kurang dari lembaga pembiayaan akan risiko bisnis EBT. Tenor pembiayaan cenderung relatif pendek, padahal pengembalian investasi EBT cukup lama.

“Skema bank di Indonesia berupa corporate financing kurang cocok dengan model bisnis IPP, dan mahalnya cost of fund lembaga pembiayaan di Indonesia,” kata Hindun.

Menurut Dia, perlunya mendorong pendanaan EBT dengan instrumen pendanaan inovatif dan murah. Saat ini terdapat beberapa sumber pendanaan yang potensial dan cocok untuk model bisnis EBT. Contohnya, adalah Green Climate Fund (GCF) yang memberikan dana murah dengan tenor panjang. Instrumen lainnya adalah green bonds dan green Sukuk (obligasi dan Sukuk Hijau) yang bukan hanya diterbitkan oleh pemerintah tetapi juga sektor Swasta (PT SMI dan CIMB Niaga).

“Contoh lain adalah CSR, viability gap fund, dan pemerintah melalui subsidi bunga, government guarantee, serta insentif fiskal,” tandas Hindun.(RA)