JAKARTA – Kenaikan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) di berbagai daerah sangat berpotensi menuai banyak permasalahan. Selain tentu masyarakat yang akan terdampak keruwetan dalam proses pelaksanaannya justru berpotensi melahirkan banyak pelanggaran saat implmentasi aturan tersebut.

Tutuka Ariadji, Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengaku keputusan kenaikan PBBKB yang diberlakukan setiap daerah memang bukan ranah Kementerian ESDM, namun karena menyangkut BBM maka teknis pelaksanaannya tentu berhubungan erat dengan Ditjen Migas. Menurut Tutuka ada dampak nyata yang langsung dirasakan jika PBBKB dinaikkan.

“Di teknis ada masalah kepada Badan Usaha niaga (Pertamina). Di sosial, karena belum ada sosialisasi, pasti ada masalah di masyarakat. Di hukum ada permasalahan juga. Tiga itu,” kata Tutuka ditemui di Kementerian ESDM, Selasa (30/1).

Dia menjelaskan dari sisi teknis, badan usaha seperti Pertamina bakal langsung terkena imbasnya. Dalam aturan disebutkan ada perbebedaan besaran pajak yang dikenakan untuk pribadi atau untuk kepentingan umum.

“Kalau beda begitu berarti dibedakan di SPBU-nya, di dispensernya. Padahal BU niaga Pertamina dan yang lain belum menyiapkan itu. Samain saja tepatnya kan. Tangki di bawah juga demikian. Permasalahan teknis itu jadi masalah operasional,” ujar Tutuka.

Kemudian juga secara hukum itu antara wajib pajak dan wajib pungut. Kondisi sekarang ini kan wajib pajak mau dimasukan. Menurut Tutuka definisi wajib pakak dan wajib pungut harus terlebih dulu diperjelas.

“Kalau misalkan untuk produser atau importir, misalkan di daerah Kalimantan Timur itu bisa bermasalah. Kan enggak punya kilang dia. Itu bisa jadi problema di sana. Satu lagi, itu kan maksimal 10% PBBKB-nya. Kriteria menjadi 10% itu enggak ada. Jadi semua perda atau Pemda menyusunnya jadi 10%, maksimalin aja. Kalau menurut saya harus ada kriterianya, yang 10% itu apa. Ini enggak ada. Jadi petunjuk teknis dari UU atau aturan turunan itu yang menurut saya diperlukan sebetulnya,” jelas Tutuka.

Kementerian ESDM sudah mengirimkan surat khusus kepada Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan terkait berpotensinya lahir banyak masalah dari pemberlakuan pajak baru ini.

“Kami menghimpun permasalahan yang ada banyak. Pelaksanaannya harus diperhatikan betul karena akan menimbulkan dampak di masyarakat yang kami sudah lihat.i Kami membeberkan dampaknya besar. Itu harus consider dalam mengambil keputusan,” ungkap Tutuka.

Salah satu pemerintah yang telah menerbitkan Perda adalah Jakarta. Kenaikan tarif pajak bahan bakar kendaraan bermotor ini tertera dalam Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diteken Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono pada 5 Januari 2024. Aturan ini juga diundangkan pada 5 Januari dan resmi berlaku pada saat tanggal diundangkan.

Tarif PBBKB di DKI JAkarta ditetapkan sebesar 10% 29 Januari 2024. Angka ini naik dari sebelumnya yang sebesar 5%, mengacu pada Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

Sedangkan tarif pajak bahan bakar untuk kendaraan umum ditetapkan sebesar 50% dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi. Adapun dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual bahan bakar sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). (RI)