JAKARTA – Sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia yakni sebesar 32% selama 20 tahun, dekarbonisasi sektor energi secara menyeluruh penting untuk mencapai target bebas emisi sejalan dengan Persetujuan Paris. Sektor pembangkit listrik terutama PLTU batu bara merupakan sumber emisi terbesar sektor energi, sehingga perlu penerapan kebijakan yang tepat.

Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), menyampaikan bahwa berdasarkan analisis terdapat dua kebijakan untuk menekan emisi dari PLTU batu bara agar sesuai dengan Persetujuan Paris, yakni melakukan moratorium PLTU dan mempensiunkan PLTU dari umur pakainya yang biasanya 30 tahun menjadi 20 tahun.

Deon mengatakan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut perlu peta jalan yang optimal untuk menekan biaya dan dampak yang timbul serendah-rendahnya. Menurutnya hal tersebut dapat bersandar pada data dan analisis yang mendalam dilakukan untuk setiap unit PLTU di Indonesia.

“Yang perlu dianalisis adalah umur PLTU karena terkait kontrak, efisiensi terkait emisi, biaya operasi dibandingkan dengan biaya untuk mempensiunkan PLTU, kesiapan perencanaan sistem ketenagalistrikan, dan aspek non-teknis seperti lapangan pekerjaan, polusi & kemampuan SDM,” kata Deon, dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 yang diselenggarakan oleh Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR), Rabu(22/9).

Lebih lanjut, menurut Deon, dalam menyusun peta jalan untuk mempensiunkan PLTU batubara ada banyak strategi yang bisa dipertimbangkan, diantaranya melakukan pengalihan pendanaan dan investasi ke energi terbarukan, melakukan peralihan tujuan (repurposing) dan memodifikasi (retrofitting) PLTU.

“Saat ini secara ekonomi, pembangkit energi terbarukan jauh lebih murah dibandingkan PLTU batubara. Bila kebijakan ini tidak segera dilakukan, PLN diproyeksikan menjadi perusahaan dengan aset terbesar kedua yang punya kemungkinan stranded asset sampai US$15 miliar,” ujar Deon.

Herry Nugraha, Kepala Pusat Keunggulan PT PLN (Persero), menyampaikan pihaknya merespon RUPTL dan menyiapkan peta jalan dekarbonisasi dengan melakukan berbagai kajian dan menganalisa data PLTU batubara di Indonesia.

“Kami secara rutin mencatat berapa kapasitas, kapan retirement (pensiun), performa dari tiap-tiap PLTU, keandalan, produksi CO2 dari masing-masing unit dihitung setiap tahunnya untuk menjadi bahan evaluasi,” ujarnya.

Wanhar, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, menjelaskan bahwa dalam Energy Transition Mechanism (EDM) telah termuat mekanisme mengganti kapasitas PLTU yang akan dihentikan dengan energi baru terbarukan.

“Tentu saja perlu dilakukan studi, bekerja sama dengan Asian Development Bank. Kami juga sudah melakukan diskusi dengan para pemangku kepentingan di industri batubara terkait mekanisme tersebut,” ujarnya.

Architrandi Priambodo, Energi Senior Spesialis, Asian Development Bank (ADB), mengungkapkan pihaknya tengah mengembangkan EDM yang memastikan aspek transisi energi yang berkeadilan (just energy transition).

“Pada akhirnya, yang menerima dan menikmati listrik adalah komunitas (masyarakat-red). sehingga kita memastikan bahwa pensiun PLTU batubara tidak berdampak buruk terhadap pekerja, lingkungan dan menyokong aspek sosial, termasuk inklusivitas,” ungkap Chitra.

Roy Torbert, principal dari Rocky Mountain Institute, menambahkan bahwa dana yang didapat dari proses refinancing bisa dimanfaatkan untuk investasi ke energi terbarukan dan membantu masyarakat yang terdampak, misalnya pekerja untuk bertransisi ke pekerjaan baru.

Meninggalkan PLTU batubara berarti membutuhkan inovasi teknologi energi terbarukan yang akan menggantikannya. Muhamad Reza, Ahli Teknik, Pengembangan Bisnis & Manajer Lini Bisnis Sistem Energi, Tractebel Engineering Indonesia mengemukakan bahwa saat variable renewable energy (VRE) masuk dalam sistem, bukan hanya beban yang fluktuatif namun dari sisi pembangkitan juga akan sedikit fluktuatif.

“Antisipasinya, kita harus mencari teknologi yang dapat mencukupi kebutuhan itu, dan perlu memastikan kelayakan teknis dan nilai ekonomisnya,” ujar Reza.

Menurutnya, teknologi penyimpanan energi atau baterai akan sangat menolong permasalahan tersebut.

Menyoal kesiapan PLN, Djoko Prasetijo, Wakil Ketua, Conseil International des Grands Réseaux Électriques (CIGRE) Indonesia, mengatakan PLN tidak perlu merasa khawatir untuk mengatasi masuknya VRE.

“Sebetulnya teman-teman di PLN sudah biasa berhadapan dengan variabilitas contohnya permintaan dari pagi sampai malam juga beda. Kalau misalnya ada masuk sekian ribu MW (PLTS -red) di Jawa, grid (jaringan) kita mestinya cukup akomodatif untuk bisa meng-handle 3.000 – 4.000 MW sepanjang Solar PV (PLTS) itu tersebar secara geografis,” ujarnya.(RA)