JAKARTA – Pemerintah diminta  mengkaji ulang kebijakan yang memberikan prioritas kepada kontraktor migas eksisting untuk mengelola blok migas habis kontrak (terminasi). Pemerintah melalui  Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.23/2018 diterbitkan pada tanggal 24 April 2018 guna menggantikan Permen ESDM No.15/2015. Salah satu poin utama dalam beleid terbaru itu adalah tidak lagi menjadikan PT Pertamina (Persero) yang notabene adalah perusahaan negara sebagai prioritas untuk ditawarkan mengelola blok terminasi.

Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), mengungkapkan dalam kebijakan terbaru ada kesan untuk memberi jalan mulus kepada kontraktor existing yang rata-rata adalah kontraktor asing untuk melanjutkan pengelolaan wilayah kerja (WK) yang kontraknya berakhir.

Jika merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.36/PUU-X/2012 sebagai hasil judicial review atas UU Migas Nomor 22 Tahun 2001, maka pengelolaan WK-WK migas hanya boleh dilakukan BUMN. Hal ini merupakan perwujudan dari amanat Pasal 33 UDD 1945 tentang lima aspek penguasaan negara yang harus berada di tangan pemerintah dan DPR, yakni pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan.

“MK menegaskan, khusus untuk aspek pengelolaan, penguasaan negara tersebut dijalankan oleh pemerintah melalui BUMN,” kata Marwan, Senin (7/5).

Dia menambahkan jika pemerintah Presiden Joko Widodo masih mengakui keberadaan dan berlakunya UUD 1945, maka tidak ada alternatif lain kecuali menyerahkan pengelolaan WK-WK yang berakhir kontrak kerja samanya kepada BUMN dalam hal ini Pertamina.

“Jangankan ketentuan dalam Peraturan Menteri ESDM, bahkan ketentuan dalam UU Migas pun harus tunduk kepada amanat konstitusi. Sehingga, tanpa mempertimbangkan argumentasi lain, atau konsiderans “menimbang” dan “mengingat” pada Permen ESDM No.23 tersebut, maka secara otomatis Permen ESDM No.23/2018 harus batal demi hukum,” tegas Marwan.

Dalam Permen ESDM No.23 kata Marwan yang akan melanggengkan dominasi kontraktor asing, juga bertentangan dengan berbagai ketentuan dalam UU Energi No.30/2007. Pasal 2 UU Energi menyatakan energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, berkeadilan, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional. Pasal 4 UU Energi menyatakan rangka mendukung pembangunan nasional berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, maka sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala besar, dan sumber energi nuklir dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Marwan mengatakan dalam beleid terbaru tersebut tercantum dalam konsiderans “Menimbang”, alasan utama yang menjadi dasar penerbitan Permen ESDM No.23 adalah: a) perlunya mempertahankan dan meningkatkan produksi migas bumi dan menjaga kelangsungan investasi pada WK yang akan berakhir KKS-nya; dan b) bahwa Permen ESDM No.15/2015 dianggap sudah tidak memenuhi perkembangan dan dinamika kegiatan migas. Dengan konsiderans tersebut, maka KESDM menetapkan prioritas pengelolaan WK habis kontrak kepada kontraktor existing (asing).

“Apakah jika dikelola BUMN bangsa sendiri produksi migas turun dan kelangsungan investasi terhambat? Lantas, dinamika seperti apakah yang tidak terakomodasi pada Permen No.15/2015?,” ungkap dia.

Menurut Marwan, alasan yang tercantum pada konsiderans Permen No.23/2018 merupakan hal yang absurd, tidak relevan dan mengada-ada, sekaligus merendahkan dan menghina kemampuan sumber daya manusia bangsa sendiri.

Di samping pertimbangan aspek konstitusional dan legal di atas, ternyata Permen ESDM No.23/2018 menyimpan misteri kemungkinan terjadinya perburuan rente. Perburuan rente ini dapat terjadi melalui penunjukan langsung kontraktor existing untuk melanjutkan pengelolaan WK yang KKS-nya berakhir (Pasal 2). Dalam hal ini, dasar perhitungan dana yang harus dibayar oleh sang kontraktor (di luar signature bonus) tidak jelas, sehingga rawan untuk terjadinya korupsi.

“Padahal dalam Permen No.15/2015, proses akuisisi saham WK tersebut dilakukan secara B-to-B dengan BUMN,” kata Marwan.

Negara dan BUMN akan dapat menghindari KKN, sekaligus akan memperoleh dana akuisisi saham yang optimal jika setiap WK yang KKS-nya berakhir diserahkan kepada BUMN. “Kemudian BUMN-lah yang melakukan tender atau mengundang (farm-out) kontraktor lain untuk memiliki saham dalam pengelolaan WK tersebut secara B-to-B,” tegas Marwan.(RI)