JAKARTA – Tantangan terbesar dalam implementasi cofiring biomassa diyakini adalah upaya untuk menjaga keberlanjutan pasokan bahan baku biomassa, yang tentunya dengan tetap mempertimbangankan aspek keekonomian untuk tetap menjaga dalam operasinya tidak melebihi Biaya Pokok Pembangkitan (BPP). PT PLN (Persero) tercatat telah melakukan kerja sama dan komitmen dengan pemasok biomassa besar seperti Perhutani, PTPN, dan Shang Hyang Seri, serta mendorong berkembangnya pasar biomassa skala menengah dan kecil.

“Diharapkan upaya-upaya ini terus dilanjutkan di setiap titik lokasi PLTU di Indonesia sehingga nantinya akan tercipta pasar demand-supply yang semakin besar dan keekonomian serta economics of scale yang semakin baik,” kata Andriah Feby Misna, Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, dalam diskusi virtual baru-baru ini.

Feby mengatakan Kementerian ESDM melalui Ditjen EBTKE akan terus mengawal dan terus memfasilitasi upaya-upaya penyediaan bahan baku biomassa di sisi hulu serta menjaga pada implementasinya tidak terkendala pada sisi teknis. Pada sisi teknis, saat ini telah ditetapkan SNI Pelet Biomassa untuk pembangkit listrik, dan menyusul akan ditetapkan juga SNI Bahan Bakar Jumputan Padat. Pada 2021, juga akan dimulai pembahasan RSNI sawdust, woodchip, dan cangkang sawit untuk pembangkit listrik.

Selain itu, dari sisi regulasi, sedang disusun Rancangan Permen ESDM tentang Implementasi Cofiring Biomassa pada PLTU. Dalam aturan tersebut nantinya akan didefinisikan klasifikasi bahan bakar biomassa, bagaimana acuan dalam formulasi harga, pengaturan standar, pembinaan pengawasan, serta pentahapan pelaksanaan cofiring.

Pada 2020 telah dilaksanakan uji coba cofiring biomassa di 29 lokasi PLTU. Untuk 2021 direncanakan uji coba pada 17 lokasi PLTU, sehingga total PLTU yang telah masuk tahap uji coba sejak 2020 hingga April 2021 sebanyak 35 lokasi dari total 52 lokasi. PLTU ini telah melakukan uji coba cofiring dengan berbagai sumber biomassa seperti woodpellet, sawdust, SRF, cangkang sawit, eceng gondok, batok kelapa, dan sekam sawit.

Dengan asumsi persentase cofiring biomassa sebesar 5% dan seluruh PLTU telah melakukan cofiring, maka volume batu bara yang dapat dikurangi mencapai 4 juta ton per tahun dan dihasilkan peningkatan kontribusi EBT sebesar 0,9 % pada bauran energi nasional. Jika cofiring biomassa dilakukan hingga 10%, maka bauran EBT yang dapat dihasilkan mencapai 1,79%. Keuntungan lain yang diharapkan dengan program co-firing pada PLTU Batubara adalah penghematan BPP dan reduksi emisi lingkungan. Hasil evaluasi BPP untuk cofiring sawdust PLTU Paiton 1-2, pada Juni 2020 turun sebesar Rp 21,26/kWh dengan kWh Green sebesar 727.425 kWh. Sedangkan potensi saving pada PLTU Ketapang sebesar Rp 5,09/kWh, PLTU Belitung sebesar Rp 8.56/kWh dan PLTU Kaltim Teluk sebesar Rp 10,7/kWh.

“Ke depan kami akan berupaya untuk bisa mengurangai PLTU eksisting untuk digantikan dengan pembangkit-pembangkit yang lebih bersih,” ujar Feby.(RA)