JAKARTA – Indonesia sudah dikenal memiliki potensi besar panas bumi namun hingga kini potensi tersebut masih belum dimanfaatkan dengan optimal. Dari total potensi panas bumi mencapai 24 ribu Megawatt (MW) baru sekitar 3 ribuan MW dikembangkan. Salah satu biang kerok lambannya pengembangan panas bumi di tanah air ternyata adalah aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Harris Yahya, Direktur Panas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan ada klausul aturan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tentang TKDN di industri panas bumi yang ternyata jadi salah satu yang mempengaruhi akselerasi pengembangan panas bumi di tanah air. Pemerintah kata dia saat ini tengah mengevaluasi aturan tersebut yang juga seringkali dikeluhkan para pelaku usaha.

Harris mencontohkan pengembangan panas bumi di Hululais masih belum bergulir karena pihak lender atau lembaga keuangan yang mendanai proyek tersebut menolak dimasukkan klausul terkait syarat TKDN dalam kontrak. “Hululais di situ ada persyaratan yang diinginkan lender tetapi nggak bisa dipenuhi dari regulasi yang ada. Contohnya regulasi yang terkait dengan Permen 54/2013 Kemenperin yang mengatur mengenai hal itu,” ujar Harris belum lama ini ditemui di Jakarta.

Izin Panas Bumi WKP Hululais sebenarnya adalah PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) yang bekerjasama dengan PLN untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang dibantu menggunakan pendanaan dari JICA (Japan International Cooperation Agency) sebagai lender. “JICA memberikan konsesional loan ke PLN melalui negara sehingga mereka itu pembiayaan 0,3% kemudian tenor 40 tahun. Namun mereka mempersyaratkan di dalam procurement dilakukan PLN untuk pembangunan PLTP nanti itu jangan memasukkan persyaratan TKDN dalam bidding document,” jelas Harris.

Masalah semakin rumit ketika pendanaan pengembangan panas bumi yang tinggi bisa memperngaruhi keekonomian proyek karena itu keterlibatan JICA yang sanggup memberikan pinjaman dengan bunga rendah ini sangat penting untuk memastikan proyek tetap berjalan sesuai keekonomian. Karena jika tidak maka beban biaya akan dialihkan ke harga listrik.

“Kita juga akan kesulitan dapat pembiayaan JICA ngga, mau masuk World bank, mereka juga begitu. Akhirnya akses dana lebih mahal, dana lebih mahal tentu mempengaruhi keekonmian proyek,” ungkap Harris.

WKP Huluais berada 180 km dari kota Bengkulu. Rencananya akan dibangun dua unit PLTP di sana dengan masing-masing kapasitasnya sebesar 55 MW.

Pemerintah kini tengah mencari solusi termasuk mengkaji evaluasi regulasi TKDN. Saat ini TKDN yang dipersyaratkan sesuai ketentuan 33% untuk geothermal. Tapi dalam pelaksaaannya yang dihutng di Kemenperin baru fasilitas pembangkit listriknya saja, sementara di sisi lain harus diakui fasilitas pembangkit panas bumi belum banyak tersedia di Indonesia dan banyak diimpor jadi TKDN antara 20%an saja. Padahal jika kegiatan hulu panas bumi sudah banyak yang bisa disediakan dari dalam negeri.

“Untuk mencapai 33% agak berat kalo kita mempertimbangkan sisi pembangkitnya saja. Sementara sisi hulu nya yaitu pengeboran, casing-casing itu belum dihitung TKDN-nya,” tegas Harris. (RI)