JAKARTA – Mengakhiri masa kepemimpinannya di G20 pada November 2022, Indonesia perlu menunjukkan perhatian yang kuat terhadap upaya mitigasi iklim, dengan meningkatkan komitmennya terhadap penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) secara signifikan. Laporan Climate Transparency 2022 menunjukkan dominasi 81% energi fosil pada sistem energi di Indonesia, dan 62% sumber pembangkitan listrik berasal dari batu bara, membuat sektor energi masih menjadi penyumbang terbesar emisi GRK (43%) diikuti sektor transportasi (25%) di urutan kedua pada 2021.

Selain itu, intensitas emisi Indonesia di sektor energi mengalami peningkatan sepanjang kurun waktu 2016-2021 sebesar 5,5% menjadi 784,8 gCO2/kWh. Jumlah ini lebih besar dibandingkan rata-rata emisi di sektor energi negara G20 pada kurun waktu yang sama yang mengalami penurunan 8,1% menjadi sebesar 444,7 kWh. Hal ini ditengarai dengan aktivitas ekonomi yang kembali pesat pasca pandemi.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), memandang bahwa negara G20 yang bertanggung jawab terhadap 85% emisi GRK dunia harus mengambil peran yang lebih besar dalam memangkas emisi GRK secara drastis. Secara global harus memangkas kira-kira 45% GRK di level 2010 pada 2030 nanti. Sayangnya, hingga kini, belum ada 1 negara G20 yang memenuhi target tersebut, termasuk Indonesia yang menjadi presiden G20.

“Seiring dengan pertemuan G20 di Bali minggu depan, maka perlu bagi negara G20 mempercepat transisi energi, berpindah dari energi fosil yang mahal, polutif dan membahayakan. Mengambil transisi energi sebagai salah satu isu prioritas G20, maka penting bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengingatkan negara G20 agar lebih ambisius melakukan transisi energi, termasuk Indonesia. Kunci penurunan emisi ialah dengan pertama, segara mengurangi PLTU batubara dan merencanakan phase out PLTU, yang harus dilakukan sebelum 2040. Kedua, mempercepat energi terbarukan untuk mengganti energi dan mendorong efisiensi energi,” kata Fabby, dalam acara diskusi, Rabu(9/11/2022).

Selanjutnya, Fabby menyinggung subsidi fosil yang setiap tahun semakin meningkat dan menghambat perkembangan energi terbarukan dan efisiensi energi. Ia berharap pada KTT G20, Presiden Jokowi dapat mengajak negara G20 untuk mengambil sikap untuk memangkas subsidi energi fosil.

Sementara berdasarkan perhitungan Climate Transparency 2022 pada Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, target NDC tanpa syarat Indonesia akan meningkatkan emisi hingga 421% di atas level tahun 1990, atau rata-rata 1.661 MtCO₂e pada tahun 2030. Agar tetap di bawah batas suhu 1,5˚C, emisi Indonesia tahun 2030 harus sekitar 449 MtCO₂e, pada kesenjangan ambisi sebesar 1.212 MtCO₂e. Semua angka tersebut tidak termasuk emisi dari penggunaan lahan.

Meski telah menyerahkan Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) pada September 2022, target penurunan emisi di sektor emisi belum selaras dengan Persetujuan Paris yang membatasi kenaikan temperatur bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Berdasarkan Enhanced NDC, pada 2030, target level emisi unconditional (tanpa syarat) NDC di sektor energi akan menjadi 1.311 MtCO₂e, dengan target penurunan NDC tanpa syarat sebesar 358 MTon CO₂eq.

“Adanya peningkatan target penurunan emisi khususnya di sektor energi patut diapresiasi, namun hal ini masih sangat disayangkan karena kenaikannya masih sangat minim untuk mencapai trayektori 1,5 derajat celcius. Selain itu implementasi di lapangan juga masih jauh dari target yang telah ditetapkan. Perlu adanya keinginan kuat dari pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut,” jelas Farah Vianda, Program Officer Ekonomi Hijau, IESR.

Menurutnya, komitmen Indonesia untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap dan memulai transisi ke energi ramah lingkungan, sesuai deklarasi ‘Transisi Energi Listrik Global Ke Energi Bersih’ pada COP26 lalu, perlu segera diwujudnyatakan. Bahkan Climate Transparency 2022 mengungkapkan proses transisi energi harus berlangsung secara berkeadilan, salah satunya dengan mengakomodasi kepentingan sekitar 100.000 orang yang bekerja di industri batubara.

“Pemerintah Indonesia perlu memfasilitasi transisi yang adil bagi pekerja sektor pertambangan batu bara dan memastikan sumber pertumbuhan ekonomi alternatif di daerah yang bergantung terhadap energi fosil. Pemerintah bisa melakukan diversifikasi ekonomi untuk memprioritaskan investasi di sektor energi bersih, terlibat dalam dialog sosial untuk memastikan transisi yang inklusif, dan menerapkan tindakan mitigasi awal yang dirancang dengan cermat,” ungkap Farah.

Farah menambahkan setiap komitmen harus direalisasikan, mengingat Indonesia telah menandatangani Deklarasi Silesia tentang Transisi yang Adil (COP24), namun hingga kini pemerintah belum menyiapkan peta jalan transisi energi yang memperhatikan dampak sosial dan ekonomi khususnya bagi para tenaga kerja di sektor pertambangan.

Lebih lanjut Climate Transparency 2022 mendorong Indonesia untuk merancang peta jalan yang jelas penghentian masa pengoperasian pembangkit listrik energi fosil dan memulai transisi energi. Justru, di RUPTL 2021–2030 masih mempertahankan penggunaan batu bara

Climate Transparency mengidentifikasi beberapa peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ambisi iklimnya. Pertama, Bappenas telah mengembangkan peta jalan net zero emissions 2045 yang dinilai akan memberikan manfaat secara ekonomi dan sosial dibandingkan target nir emisi tahun 2060. Kedua, seiring dengan intensitas karbon sektor energi yang terus meningkat, penting bagi Indonesia untuk mengembangkan kebijakan energi yang ambisius untuk mengurangi emisi. Ketiga, sektor transportasi menyumbang 33% dari konsumsi energi, dan 95% dari permintaan ini dipenuhi oleh minyak bumi sehingga. diperlukan kebijakan dekarbonisasi sektor transportasi untuk mencapai target nir emisi.

Berdasarkan perhitungan Climate Action Tracker (CAT) menilai target dan kebijakan iklim Indonesia sebagai “sangat tidak mencukupi”. Peringkat tersebut menunjukkan bahwa kebijakan dan komitmen iklim Indonesia mengarah pada peningkatan bukannya penurunan emisi dan sama sekali tidak konsisten dengan batas suhu 1,5°C Persetujuan Paris. Untuk mendapatkan peringkat yang lebih baik, Indonesia perlu menetapkan target dan kebijakan NDC yang lebih ambisius. Target NDC tanpa syaratnya perlu diturunkan jauh di bawah kebijakan saat ini untuk menghasilkan emisi mendekati tingkat saat ini pada tahun 2030. Sementara, target NDC bersyaratnya harus jauh di bawah tingkat saat ini pada tahun 2030 untuk mendorong dekarbonisasi mendalam sejalan dengan target nir emisi.(RA)