RAGAM jurus dilancarkan untuk bisa menekan emisi karbon. Salah satu jurus yang diyakini paling ampuh adalah dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil baik untuk sektor transportasi maupun pembangkit listrik. PT Pertamina (Persero) menjadi garda terdepan untuk meningkatkan kualitas bahan bakar.

Terbaru, tiga aktor utama dari perusahaan migas plat merah itu ada dibalik kesuksesan revolusi di dunia penerbangan. Subholding Commercial and Trading Pertamina, PT Pertamina Patra Niaga (PPN) dengan Subholding Refining and Petrochemical Pertamina , PT Kilang Pertamina International (KPI) serta fungsi Research Technology and Innovatioan Pertamina.

KPI sudah sukses memproduksi bahan bakar pesawat terbang campuran avtur dan RBDPO (Refined Bleached and Deodorized Palm Oil), yaitu minyak sawit yang sudah melalui proses penyulingan untuk menghilangkan asam lemak bebas serta penjernihan untuk menghilangkan warna dan bau yang ramah terhadap lingkungan karena menghasilkan emisi jauh dibawah penggunaan bahan bakar pesawat konvensional memanfaatkan katalis merah putih yang dikembangkan oleh fungsi RTI sejak tahun 2010.

Sementara PPN memiliki peranan kunci dalam pendistrubusian bahan bakar terbaru untuk sang Burung Besi, mulai dari moda transportasi hingga tangki timbun.

KPI sukses memproduksi Bioavtur yang diberi jargon SAF J2.4 sejak tahun 2021 lalu di Refinery Unit IV Cilacap dengan teknologi Co-Processing dari bahan baku Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO) dengan kapasitas 1.350 kilo liter (KL) per hari. Di RU IV, Avtur diproduksi di unit Kero Merox di Fuel Oil Complex (FOC) I, unit AHU & TDHT di FOC II dan unit GHT di kilang Residual Fluid Catalytic Cracking (RFCC).

Taufik Adityawarman, Direktur Utama KPI, menjelaskan KPI selalu siap memenuhi permintaan bioavtur karena di RU IV Cilacap sendiri memang ditargetkan jadi fasilitas yang akan memproduksi green fuel. Sehingga jika memang mau ditingkatkan penggunaan bioavtur ini manajemen KPI sudah siap untuk mengembangkan kapasitas yang ada.

“Jadi Cilacap, kilang Plaju, nantinya kilang Kasim fokus ke green fuel, awalnya kan di Dumai. tapi nanti subject to demandnya seperti apa, yang jelas fasilitas ada di Cilacap, sekarang kapasitas 9.000 barel per hari,” kata Taufik ditemui di bandara soekarno hatta beberapa hari lalu.

Penggunaan bioavtur ini tentu melalui tahapan ketat sampai akhirnya bisa digunakan dalam penerbangan komersial. Perlu waktu hingga tiga tahun proses tersebut dilalui hingga akhirnya pesawat Garuda Indonesia benar-benar “meminum” bioavtur.

Pada bulan Desember Tahun 2020 dilakukan pengujian tahap I (plant trial) proses pencampuran 2% RBDPKO dengan avtur konvensional di fasilitas kilang Cilacap. Kemudian pada Februari 2021 kembali dilakukan uji pencampuran (plant trial II) 2,4% RBDPKO dengan avtur. Lalu plant trial III dilakukan pada Mei 2021. Baru pada akhirnya pada Juli 2023 KPI benar-benar bisa memproduksi secara komersial bioavtur Pertamina SAF J2.4.

Salah satu pengujuan adalah dengan dilakukannya cell test di fasilitas milik Garuda Maintenance Facility (GMF). Ini merupakan rangkaian pengujian avtur tahap II  dengan menggunakan engine CFM56-3 dengan 2 variasi bahan bakar antara lain Jet A-1 dan SAF (Bioavtur) J2.4. Untuk keperluan pengujian, telah diproduksi Bioavtur 2,4% (J2.4 stock on spec) sebanyak 20 kL, yang menggunakan pengolahan RBDPO di unit TDHT (Treated Distillate Hydro Treating) Refinery Unit (RU) IV Cilacap.

Pengujian tahap dua untuk bahan bakar bioavtur J2.4 dilakukan sebanyak 3 cycle. Tiap cycle meliputi beberapa kondisi antara lain ground idleflight idleaccel dan melihat nilai dari beberapa parameter seperti density (panas yang ditimbulkan mesin), vibrasi mesin, oil pressure, dan performance. Nilai tersebut dibandingkan dengan hasil penggunaan Jet A-1 dengan nilai limitasi yang diberikan oleh manufaktur mesin. Sebelum dilakukan engine test cell, terlebih dahulu dilakukan uji karakteristik bahan bakar yang akan digunakan.

Uji statis mesin (engine test cell) tahap pertama telah dilaksanakan pada 22-23 Desember 2020 lalu, menggunakan campuran bahan bakar bioavtur 2% (J2) pada Engine CFM56. Bahan bakar Jet A1 yang digunakan sebanyak 10.900 liter dan green avtur J2 sebanyak 9.000 liter.

SAF akhirnya melalui proses flight test pada pesawat militer CN-235 milik PT Dirgantara Indonesia. Setelah tidak ditemui kendala berarti maka para pihak percaya diri untuk melakukan uji terbang pesawat komersil dengan menggunakan Boeing 737-800 NG milik PT Garuda Indonesia pada 4 Oktober 2023. Selanjutnya bioavtur akhirnya benar-benar digunakan secara komersial pada 27 Oktober lalu untuk rute penerbangan Jakarta – Solo dan Solo Jakarta. Untuk penerbangan satu kali rute Solo Jakarta meggunakan pesawat Boeing 737-800 NG diperlukan bioavtur sebanyak 4 Kiloliter (KL).

Penerbangan perdana ini tentu jadi tonggak sejarah baru bagi Indonesia dalam upaya mengejar target penurunan emisi. Masyarakat yang ikut terlibat pun antusias, meskipun menjajal produk bahan bakar terbaru.

Zulfa Errahmah (26), seorang karyawan swasta penumpang pesawat Garuda rute Solo – Jakarta mengaku cukup terkejut saat mengatahui ada campuran minyak kelapa sawit di pesawat yang akan ditumpanginya. Dia mengaku tidak khawatir dengan kualitas bahan bakar yang menurutnya pasti sudah memenuhi standar keselamatan.

Engga khawatir pasti juga sudah dicek dulu, QC-nya (Quality Control) pasti aman. Lagi pula ini Garuda kan pasti ketat pengawasannya,” ujar Zulfa saat ditemui sebelum lepas landas.

Heru (42), seorang penumpang yang hendak pulang ke kampung halamannya di Solo juga menyambut baik terobosan bahan bakar hijau yang diusung Pertamina dan Garuda Indonesia. Menurutnya emisi di udara saat ini memang sudah sangat bisa dirasakan sehingga berbagai upaya untuk menekan itu patut didukung.

“Setidaknya ini ada rencana menuju ke arah lebih baik, pasti sudah dihitung dipertimbangkan dari tahun ke tahun. Harapannnya pasti tidak ada yang dirugikan. Kalau dari keselamatan, maskapai sekelas Garuda harusnya safety dipriotitaskan,” jelas Heru.

Kepastian terjaganya performa pesawat saat menggunakan bioavtur juga dikonfirmasi oleh oleh sang Juru Kemudi alias Pilot pesawat.

Narendra Ismail, Pilot Pesawat Garuda Indonesia yang mengikuti tahapan uji terbang mengaku tidak ada perbedaan signifikan saat menerbangkan pesawat berbahan bakar bioavtor dengan avtur konvensional.

Dia menjelaskan uji coba bioavtur dilaksanakan sesuai dengan cek list yang ada secara bertahap dan sangat detail sehingga bisa dirasakan betul jika ada kelainan dalam performa mesin.

“Secara kasat mata saat kita lakukan fullgas, climbing akselerasi dan dampak terhadap engine dari AGT apakah ada anomali, tidak ada kendala signifikan, perbedaannya tidak jauh,” tegas Narendra.

Perbedaan siklus penggunaan bahan bakar avtur komvensional dengan Bioavtur. (Sumber : Pertamina)

Perlu Dukungan Pemerintah

Maya Kusmaya, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga (PPN), mengungkapkan potensi bisnis bahan bakar pesawat di Indonesia sangat besar. Dengan masuknya produk baru ramah lingkungan ini bisa jadi pilihan bagi para perusahaan penerbangan untuk ikut berkontribusi memberikan edukasi kepada masyarakat sekaligus berperan dalam upaya menekan emisi.

Demand aviation sampai 5 juta KL per tahun sehingga demand besar tentu itu dulu yang akan jadi target, kami undang coba bicara dengan airlane lain domestik maupun luar negeri yang juga melakukan pengisian bahan bakar di indonesia kita tawarkan Pertamina SAF bagian dari upaya bahwa pertamina indonesia peduli dengan lingkungan,” ungkap Maya.

Menurutnya bioavtur ini tidak membutuhkan tambahan fasilitas tertentu karena Pertamina sudah membuat produk bahan bakar aviasi yang memang disesuaikan dengan avtur konvensional.

“Untuk menjamin proses sertifikasi memperlihatkan ini kualitas sama jadi kita treat berbeda tapi nanti akan sama secara spesifikasi kita harus memenuhi requirement tertentu sesuai conventional fuel avtur yang ada,” jelas Maya.

Untuk urusan harga dia yakin pada saatnya nanti bisa sesuai dengan keekonomian perusahaan serta terjangkau bagi masyarakat. Untuk tahap awal dukungan pemerintah memang sangat dibutuhkan. Selain itu para maskapai juga sudah harus mulai mensosialisasikan program penggunaan bahan bakar ramah lingkungan ini. “Economic of scale ada titik tertentu skala produksi tertentu setidaknya buat harganya sama, tapi kita berikan pemahaman ke masyarkakat, energi bersih dibutuhkan. Nanti tergantung dari komposisi yang digunakan setiap arlines nantinya akan terlihat airlane skala besar bisa terima volume lebih besar secara logistik akan jauh lebih kompetitif,” jelas Maya.

Oki Muraza Senior Vice President Research and Technology Innovation (RTI) Pertamina, mengungkapkan bahwa bioavtur J2.4 yang digunakan sudah sesuai dengan spesifikasi internasional ASTM D1655 yang juga digunakan untuk avtur konvensional.

Dia menjelaskan sebelum digunakan dalam joy flight Jumat lalu, bioavtur ini telah melewati serangkaian tes, termasuk uji laboratorium tersertifikasi, uji statik (di mesin yang terpisah dari pesawat), ground test, hingga flight test. “Seluruh tes dapat terlalui dengan baik dan telah terjamin aman sehingga dapat digunakan pada Jumat lalu,” kata Oki kepada Dunia Energi, Selasa (31/10).

Oki menuturkan pengembangan biofuel di Pertamina sudah diawali di tahun 2010-an . sama seperti tantangan pada pengembangan bioenergi lainnya, tantangan utama bioavtur kali ini  adalah ketersediaan bahan baku yang tidak hanya sesuai spesifikasi, tetapi juga harus memiliki carbon footprint yang rendah, serta harga yang terjangkau.

Saat ini untuk mendapatkan RBDPKO sebagai bahan baku Bioavtur J2.4 yang memenuhi syarat emisi sudah cukup menantang, termasuk dari sisi harga jika dibandingkan crude konvensional.

“Sehingga tanpa adanya skema insentif dan dukungan pemerintah, harga J2.4 ini bisa lebih mahal dari pada avtur konvensional,” ujar Oki.

Garuda Indonesia sendiri menjadi maskapai dalam negeri yang ikut bergabung dalam peristiwa bersejarah ini. manajemen Garuda berharap inisiatif ini semakin menunjukkan kepada masyarakat bahwa Garuda serius untuk mendukung penurunan emisi di industri pesawat terbang.

“Nanti akan lebih sering gunakan Pertamina SAF. Inisiatif ini menunjukan keseriusan kami dari pada airline lain, kita berharap Garuda dipersepsikam perusahaan yang kedepankan keberlanjutan,” ungkap Irfan Setiaputra, Direktur Utama Garuda Indonesia disela penerbangan perdana Garuda menggunakan bioavtur Pertamina SAF.

Sementara itu Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI, menegaskan langkah Pertamina yang berinisiatif mengembangkan jenis bahan bakar baru di sektor transportasi udara sudah tepat. Namun dia mendorong pemerintah untuk tidak tinggal diam dan turut mendukung langkah tersebut melalui kebijakan insentif. Karena harus diakui penggunaan biofuel untuk bahan bakar pesawat adalah hal baru di Indonesia.

“Ini teknologi baru di kita, perhitungan tersebut kita belum berpengalaman.  Untuk skala pilot tentunya penting untuk didukung oleh pemerintah, baik insentif fiskal maupun non fiskal,” ujar Mulyanto kepada Dunia Energi, Senin (30/10).

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, saat dihubungi menjelaskan Pertamina cukup berpengalaman dalam melahirkan produk bahan bakar yang memang sudah merupakan “ruh” bisnisnya. “sesuatu yang sangat baik terobosan di tengah transisi energi kemudian tidak moving 100%. menggunakan yang berbasis BBM karena bagaimanapun nature pertamina secara historis di migas dan BBM tapi kalau ke listrik butuh infra baru, jadi ini untuk seimbangkan lini bisnis pertamina sendiri,” ungkap Komaidi kepada Dunia Energi, Senin (30/10).

Selain bermanfaat dari sisi lingkungan karena emisi lebih rendah, penggunaan bioavtur jika dilihat dari sisi ekonomi, nantinya akan memberi keuntungan nyata untuk negara.

Komaidi menjelaskan pengembangan bioavtur dimensinya bisa dilihar dari beberapa aspek pertama, kebijakan ini merupakan bagian dari upaya Pertamina untuk menyesuaikan perkembangan yang ada, kedua upaya untuk meningkatkan ketahanan energi di domestik tentu kaitannya kebutuhan bahan bakar. Ketiga berikan dampak positif di aspek fiskal dan moneter.

“Untuk fiskal dengan diproduksi dalam negeri nggak harus impor harganya diharapkan lebih kompetitif kalau itu terjadi dampak ke keuangan negara lebih baik. Lalu dampak ke moneter impornya akan berkurang paling tidak mengganti impor crude yang diolah sehingga ada harapan lebih baik impactnya ke neraca dagang maupun di cadangan devisa secara keseluruhan,” jelas Komaidi.

Dulu kita hanya bisa bermimpi, meninggalkan minyak bumi untuk menunjang hidup. Tapi kini satu per satu mulai terbuka jalan agar bahan bakar fosil tidak dikuras habis begitu saja. Bahkan bonusnya lingkungan juga menjadi lebih bersih melalui penggunaan bahan bakar alternatif. Burung besi pun kini sudah bisa ikut berkontribusi dengan “minum” bahan bakar hijau.

Pertamina SAF J2.4 jadi bukti kesuksesan sinergi dalam berinovasi yang jadi pilar bahan bakar hijau untuk industiri aviasi tidak hanya di dalam negeri tapi juga di dunia internasional. jangan lupa di kawasan Asia Tenggara baru Indonesia yang berani dan berinisiatif untuk melangkah lebih maju mempertahankan langit tetap biru.