JAKARTA – Bencana ekologis banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel) dianggap menjadi potret muram krisis iklim dan krisis lingkungan. Untuk itu, pemerintah diminta untuk segera melakukan evaluasi dan mencabut izin-izin yang bermasalah.

Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel, mengungkapkan Walhi sering menyampaikan bahwa Kalimantan Selatan dalam posisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Selain konflik agraria yang sering terjadi, bencana ekologis termasuk banjir dan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) juga sering menerpa Kalimantan Selatan.

“Dengan luas wilayah kurang lebih 3,7 juta Hektare (Ha), ada 13 Kabupaten/Kota hampir 50 % sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit belum lagi HTI (Hutan Tanaman Industri) dan HPH (Hak Penyewaan Hutan),” ungkap Kisworo, dalam diskusi baru-baru ini.

Menurut Kisworo, beban perizinan tambang batu bara menjadi yang paling besar selain Hak Guna Usaha (HGU), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam (IUPHHK-HA). Beban lingkungan di Kalsel dapat dilihat melalui beban perizinan industri ekstraktif yaitu Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) 628.708 hektare, di antaranya IUP Mineral 81.825 hektare, IUP Mineral Bukan Logam 33.741 hektare, IUP Batubara 489.483 hektare, dan IUP Batubara Pulau Laut 23.659 hektare.

Di sektor hutan, Izin Usaha kehutanan Seluas 743.078 hektare yakni IUPHHK-HA 197.167 hektare, IUPHHK-HT  539.882 hektare, dan Izin Perkebunan seluas 811.115 hektare, yakni HGU Luas 503.704 hektare dan Izin Lokasi seluas 307.411 hektare. Dalam kontek Pegunungan Meratus, tercatat ada sekitar 4.301,78 hektare lahan terbuka pertambangan dan 10.148,29 hektare lahan berupa perkebunan.

Dari sisi perizinan untuk korporasi di Pegunungan Meratus sekitar 6.228,36 hektare, di antaranya HGU 51.644,80 hektare dan 95.201,47 hektare IUPHHK-HT.

Dalam hal gugatan, Walhi telah mengajukan gugatan, banding dan kasasi terhadap keputusan yang dikeluarkan Kementerian ESDM di Jakarta yang pada  4 Desember 2017 mengeluarkan SK bernomor 441.K/30/DJB/2017 tentang penyesuaian tahap kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi tahap Operasi Produksi kepada PT Mantimin Coal Mining (MCM). Izin itu meliputi tiga kabupaten (Tabalong, Balangan, dan Hulu Sungai Tengah).

Dilansir dari laman website MA, telah dipublikasikan hasil putusan dengan nomor perkara 15PK/TUN/LH/2021 yang dijalankan oleh Hakim Ketua Dr. Yosran, SH., M.Hum, Hakim kedua Prof. DR.HM. Hary Djatmiko, SH., M.S., dan hakim ketiga Prof. DR. H. Supandi, SH., M.Hum serta Panitera Pengganti Rut Endang Lestari, SH telah putus dengan hasil putusan “Tolak PK”.

Artinya bahwa Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh PT MCM ditolak oleh Mahkamah Agung. Dengan demikian gugatan WALHI yang awalnya kandas di PTUN Jakarta dan PTTUN Jakarta, kemudian dimenangkan oleh Mahkamah Agung baik pada tingkat kasasi maupun pada tahap Peninjauan Kembali.

Kisworo menambahkan pemerintah dalam hal ini juga harus mengevaluasi seluruh izin industri ekstraktif tambang, sawit, HTI dan HPH di Kalsel sebagai resolusi dari krisis iklim dan lingkungan hidup yang terjadi dan untuk menjawab Kalsel dalam posisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis.

“Kini saatnya kita mengawal putusan ini, sudah menjadi kewajiban Kementerian ESDM untuk melaksanakan atau mengeksekusi putusan pengadilan. PT MCM harus segera angkat kaki dari wilayah Kalsel,” tandas Kisworo.

10 poin desakan Walhi kepada pemerintah terkait darurat ruang dan darurat bencana ekologis yang sering terjadi :

1. Pencabutan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba dan UU 11 Tahun 2020 Cipta Kerja.

2. Tanggap bencana (sebelum, pada saat dan pasca bencana/Pemulihan). Pemerintah jangan lambat dan gagap lagi dalam penanganan bencana.

3. Review dan audit seluruh perizinan industri ekstraktif tambang, sawit, HTI, HPH secara transparan dan dibagikan ke publik.

4. Stop izin baru.

5. Penegakan hukum, terutama terhadap perusak lingkungan.

6. Bentuk Satgas/Komisi Khusus Kejahatan Lingkungan dan SDA serta bentuk Pengadilan Lingkungan. (Bubarkan Inspektorat Tambang).

7. Perbaikan atau pemulihan kerusakan lingkungan, termasuk DAS, sungai, dan drainase.

8. Review RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah).

9. RPJM, RPJP dan APBD/N yang pro terhadap keselamatan rakyat dan lingkungan, berkeadilan lintas generasi serta mampu menghilangkan bencana ekologis.

10. Menteri ESDM agar melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, final dan mengkat yaitu Putusan PK MA Nomor 15 PK/TUN/LH/2021, tanggal 04 Februari 2021, dengan mencabut SK Menteri ESDM Nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Mantimin Coal Mining (PT. MCM) menjadi Tahap Kegiatan Operasi Produksi, mewajibkan Tergugat (Menteri ESDM), tanggal 4 Desember 2017.(RA)