PANGKALPINANG – Kegiatan illegal drilling atau pengeboran sumur minyak bumi secara ilegal yang dilakukan masyarakat sangat berbahaya, memberikan dampak kerusakan lingkungan, dan rentan menimbulkan korban jiwa.. Sejumlah upaya telah dilakukan pemerintah bekerjasama dengan para stakeholders dalam menangani illegal drilling.

“Sumur ilegal itu mengcreate problem bagi negara. Ada sekitar kurang lebih 4.500 sumur ilegal, dengan produksi 2500 BOPD. Bahkan pernah pada suatu waktu sempat katanya sumur ilegal bisa capai produksi 10.000 BOPD,” kata Ngatijan, Tenaga Ahli Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), dalam acara Local Media Briefing SKK Migas bersama Wartawan Media Nasional , Wartawan Daerah, Forum Jurnalis Migas Sumsel dan Jambi, di Pangkalpinang, Provinsi Bangka Belitung, Jumat (5/11).

Ngatijan mengatakan perlu dipahami perbedaan antara sumur tua dan sumur ilegal. Sumur tua adalah sumur minyak bumi yang dibor sebelum tahun 1970 dan pernah diproduksikan serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu wilayah kerja (WK) yang terikat kontrak kerjasama dan tidak diusahakan lagi oleh kontraktor. Pengelolaan sumur tua mendapatkan persetujuan dari Ditjen Migas Kementerian ESDM dan ada perjanjian kerjasama antara KUD/BUMD dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Produksi minyak pada sumur tua disetorkan dan tercatat di KKKS serta dilaporkan ke SKK Migas, dan menjadi pendapatan negara.

Sumur ilegal adalah sumur yang dibor tanpa izin dari instansi terkait yang mewakili pemerintah/negara. Pengelolaan dilakukan oleh perorangan, sekelompok orang tanpa ada kontrak kejasama dengan SKK Migas atau tanpa izin dari negara. “Produksi dimanfaatkan oleh pengelola sumur ilegal untuk kepentingannnya sendiri,” ujar Ngatijan.

Ia menjelaskan sejumlah kasus sumur ilegal, diantaranya ada di Techwin Energi telah ditutup 110 sumur ilegal dari perkiraan 74 yang berlokasi di Kabupaten Sarolangan, Provinsi Jambi. Di CPGL ada 21 orang mengalami luka bakar, dua orang meninggal. “Kesimpulannya merugikan negara, menimbulkan kerusakan lingkungan, menyebabkan banyak korban jiwa. Ini fakta yang terjadi dan masih terjadi sampai saat ini meski sudah berkoordinasi berkali-kali dengan dinas dan institusi terkait masih belum bisa diatasi,” ujar Ngatijan.

Ngatijan menekankan bahwa sumur ilegal berdampak bagi kegiatan operasi KKKS. Selain itu, sumur ilegal juga berdampak secara sosial, finansial, dan lingkungan.

Ngatijan menjelaskan sejumlah peran yang dilakukan SKK Migas terkait penanganan ilegal drilling antara lain telah ditandatangani nota kesepahaman antara Kepala SKK Migas, Kapolri dan Panglima TNI. SKK Migas juga melakukan protab/prosedur koordinasi apabila terjadi kegiatan sumur ilegal di WK KKKS, sosialisasi kerjasama sumur tua sesuai Permen ESDM no 1 tahun 2008 sebagi bentuk CSR atau pemberdayaan eknomi masyarakat, FGD dengan KKKS dan Kementerian ESDM, serta koordinasi dengan Kemenko Polhukam.

“Pilihannya hanya dua, dihentikan atau dikelola dengan payung hukum baru,” kata Ngatijan.

Untuk pilihan pertama, kata Ngatijan, kalau mau dihentikan harus dibuat prosedur dalam segala aspek seperti sosial, dampak lingkungan, dampak keamanan, proses hukum dan lainnya. Pilihan kedua, kalau mau dikelola atau penataan baru maka harus ada payung hukum baru, karena itu (illegal drilling) melanggar UU. “Payung hukum bisa berupa Perpres dan Permen ESDM baru,” kata Ngatijan.

Ia menekankan bahwa sumur ilegal ini banyak menopang ekonomi masyarakat sekitar sebagai sumber penghasilan. Tidak bisa diberantas begitu saja. Rekomendasi apabila dipilih opsi pertama, perlu dibentuk tim gabungan lintas sektor dari kementerian baik pusat dan daerah, pembuatan dasar hukum tim gabungan tentang penanganan pemproduksian minyak bumi pada eks sumur tanpa persetujuan pemerintah (sumur ilegal). Jika opsi dua yang dipilih, perlu ada pemetaan dan pendataan sumur ilegal, serta penetapan aturan Permen ESDM.

“Kegiatan sumur tanpa persetujuan pemerintah atau sumur ilegal harus ditertibkan. Asosiasi masyarakat diakomodasi untuk mengelola melalui payung hukum berupa Perpres dan Permen ESDM,” ujar Ngatijan.

Ia mengungkapkan kajian tim SKK Migas, merekomendasikan bentuk aturan berupa Perpres. “Apakah Permen atau Perpres yang akan dibentuk, itu tergantung Pak Menteri ESDM. Tapi ini harus di ekskalasi ke atas. Karena selama ini aparat sudah masuk, dan sudah dilakukan berbagai upaya, faktanya tidak bisa mengatasi. Harus diangkat sampai ke level Presiden,” kata Ngatijan.(RA)