JAKARTA – Pemerintah diminta mempertimbangkan untuk merubah sistem yang mendukung agar tujuan energi yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat bisa terealisasi.

Hilmi Panigoro, Direktu Utama PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), mengungkapkan, pada dasarnya pelaku usaha sektor energi juga sepakat dengan keinginan pemerintah yang mau membuat harga energi terjangkau, maka untuk bisa mewujudkan itu suplai energi haruslah melimpah.

“Saya pikir kalau misi afordability itu diimplementasikan serius, suplai harus banyak, maka aturannya harus diubah. Mau harga listrik turun, berarti suplainya harus banyak,” kata Hilmi di Jakarta, Selasa (2/4).

Menurut Hilmi,  untuk bisa mencapai suplai yang melimpah maka produksi energi harus juga besar dan murah agar bisa diserap.

Kondisi sekarang industri sebagai produsen energi dibebani dengan berbagai kewajiban seperti pajak yang kemudian berdampak pada harga jual energi.

Pemerintah seharusnya bisa membuka peluang untuk menurunkan penerimaan negara. Artinya,  berbagai pajak yang sudah lama dikeluhkan dihapus. Sehingga ujungnya berbagai biaya dalam proses produksi energi bisa dikurangi dan harga jual energi bisa ditekan.

Hilmi mengatakan saat ini government take atau bagian pemerintah masih tinggi sekali. Misalnya gas 65% bagian pemerintah sementara minyak 85%. Disatu sisi pelaku usaha ingin jual gas harga US$ 2 per MMBTU dan untuk mendapatkan keuntungan juga tidak mungkin.

Dia mencontohkan Amerika Serikat yang menggunakan skema gross royalti sehingga menciptakan afordability.

“Bagaimana batu bara dan gasnya murah? Ya kontrak diperbaiki dan government take-nya diturunin. Jangan mau harganya turun, tapi government take-ya besar. Pemerintah siap tidak turunin pajak?,” tegas Hilmi.

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor energi sendiri memang masih tetap tinggi sampai sekarang ini juga terus dikejar oleh pemerintah.Padahal pemerintah sendiri yang kerap kali mengatakan bahwa sektor energi sekarang adalah bukan sebagai sumber penerimaan negara tapi sebagai pendorong roda perekonomian.

Pada 2018 sebesar Rp217,5 miliar. Dengan demikian kontribusi sektor ESDM terhadap PNBP secara nasional mencapai 53,4% atau sebesar Rp407,1 triliun.

Pendapatan di sektor minyak dan gas bumi (migas) yaitu Rp163,4 triliun dari yang ditargetkan Rp86,5 triliun. Adapun penerimaan PNBP itu mencakup sumber daya alam migas, domestic market obligation (DMO) batu bara, dan pendapatan migas lainnya seperti signature bonus, bid document dan firm commitment.

Kemudian, sektor mineral dan batu bara (minerba) berkontribusi sebesar Rp50 triliun dari yang ditargetkan Rp32,1 triliun. Selanjutnya, dari sektor energi baru, terbarukan, dan konservasi energi (EBTKE) sebesar Rp2,3 triliun dari target Rp700 miliar.

Sektor lainnya berkontribusi sebesar Rp1,8 triliun dari target Rp1,2 triliun. Penerimaan sektor lain ini mencakup iuran badan usaha hilir migas (BBM atau gas pipa), penjualan data, jasa sewa, diklat hingga penerimaan Badan Layanan Umum (BLU).

Ignasius Jonan, Menteri ESDM, menyatakan pemerintah saat ini sebenarnya telah memiliki opsi skema baru bagi para pelaku usaha migas yakni gross split.

Merubah sistem yang sudah berkontrak akan lebih sulit lagi karena berpotensi bermasalah dari kaca mata hukum. Karena itu apabila perusahaan ingin mendapatkan bagian lebih besar maka skema baru yang ditawarkan pemerintah yakni gross split di mana skema bagi hasil ditetapkan diawal kontrak bisa jadi solusi.

“Ubah sistem pembagian. Pakai tax and share. Kalau renegoisasi menurunkan government take itu konsekuensinya hukum. Kalau sistem di ubah saya oke. Kalau mau pindah saja ke gross split,” kata Jonan.(RA)